SEMOGA
Oleh : Iip Saripudin
Awan bergulung menggumpal, menyiratkan kesedihan yang teramat dalam, hingga air matanya mengalir semakin deras. Angin tak henti-henti menghembuskan nafasnya, dan kabut pun menyelimuti pandangan mata.
Petir berteriak saling bersahutan, memekakan telinga, menggetarkan langkah-langkah para pencari kayu, para penggarap ladang dan sawah, serta para pekerja yang tertunda kepulangannya karena tertahan rasa takut.
Sungai-sungai bergemuruh sepanjang perjalanannya menuju muara, dan menyatu di luas samudera.
Dan isak tangis bocah kecil di sudut ruang turut mewarnai suasana sore hari itu. Di genggamnya sebuah buku di tangan kiri, dan sebuah pena di tangan kanannya. Suaranya mengiba, meminta belas kasih dari siapapun yang mendengarnya.
Berjalan perlahan sang ibu menghampiri. Di belainya penuh kelembutan, dan kepada bocah kecil ia bertanya:
Apa yang membuatmu menangis nak?.
Kepada sang ibu bocah kecil balik bertanya.
Siapa sebenarnya ibu yang menyayangiku, yang sanggup menjaga, membimbing, mengarahkan serta mampu memberiku keteduhan dan memberikan ketenangan ketika dilanda keresahan?.
Demi waktu yang terus bergulir sang ibu tersenyum dan memberi jawaban atas pertanyaan bocah kecil yang sedang bersedih.
Ketahuilah, Ibu yang mampu memberi apa yang kau inginkan itu adalah ibu pertiwi, ya, ibu pertiwi nak.
Sejenak tertegun bocah kecil dihadapan sang ibu. Kemudian bibirnya bergerak perlahan. Setengah berbisik ia berucap.
Ooooo ibu pertiwi.
Lalu siapakah ayahku ?
Atas pertanyaan bocah kecil sang ibu menjawab:
Ayah yang kau maksudkan adalah bumi nak. Bumi dimana kita tegak berdiri, tanah tumpah darah yang selama ini kita tinggali.
Di tatapnya wajah teduh sang ibu dengan pandangan mata penuh tanya. Keningnya berkerut, bibirnya terkatup tanpa kata. Sejenak terdiam, dan kini bocah kecil kembali bersuara penuh makna.
Apakah ibu dapat membuktikan bahwa ibuku adalah ibu pertiwi dan ayahku ini bumi?.
Kali ini sang ibu tertegun, pandangan matanya menembus kaca jendela rumah. Di tatapnya daun-daun yang berguguran, dan nyanyian malam mulai menghiasi suasana di tengah rintik hujan yang kian mereda.
Untuk bocah kecil sang ibu bijak berucap kata.
Tak mudah menjawab pertanyaan itu nak. Perlu waktu untuk menjelaskan semua itu. Ada kalanya kita merasa tidak puas dengan apa yang telah di dapatkan, dan mempertanyakan kepada siapa keadilan berpihak ketika ketidakadilan menghantui ketidakberdayaan.
Bocah kecil diam tak berkata-kata. Pandangan mata menerawang jauh menembus batas ruang dan waktu. Namun tak terhenti sampai disitu, dan kembali bertanya-tanya sang bocah kecil pada sang ibu tentang dimanakah ibu pertiwinya berada, baik hatikah ibu pertiwi yang dimaksudkan, serta gagah perkasakah bumi yang menjadi ayahnya.
Sungguh, untuk ketenangan sang bocah kecil sang ibu bertutur kata dengan penuh kelembutan dan bijaksana:
Disini ibu pertiwi berada, dan percayalah bahwa ibu pertiwi baik hati pada setiap kita yang menyayanginya. Serta bumi yang dimaksudkan begitu hebatnya dan gagah perkasa.
Suatu hari nanti akan kau temukan jawaban apa yang menjadi pertanyaanmu selama ini.
Kini tersungging sekilas senyum dibibir sang bocah kecil. Matanya berbinar-binar demi mendengar perkataan sang ibu yang terasa menyejukkan. Untuk kesekian kalinya sang bocah kembali bertanya pada sang ibu tentang bahagia atau sedihkah ibu pertiwi kini adanya.
Juga untuk sang bocah kecil ibu memberi penjelasan mengenai keberadaan ibu pertiwi. Tarikan nafas panjang yang dalam dari sang ibu mengoyak suasana. Seikat kata maaf terlontar dari kejujuran sang ibu pada bocah kecil di hadapannya. Kejujuran tentang ketidaktahuan mengenai kebahagiaan apa yang sedang dirasakan, serta kejujuran tentang ketidaktahuan mengenai kesedihan apakah yang tengah dialami ibu pertiwi.
Berkata sang ibu kepada bocah kecil di dekatnya:
Kelak kau akan mengerti apa yang terjadi. Namun jika bersikeras untuk mengetahui apa yang ingin kau ketahui, sebaiknya tanyakan pada guru ngajimu nak.
Tersentak bocah kecil demi mendengar perkataan sang ibu.
Aaauw !. Ada sesuatu seakan mencubit perutnya hingga Ia meringis kesakitan. Tiba-tiba bunyi telepon berdering, kring kring kring. Bergegas sang ibu menghampiri sumber suara yang berdering, dan tak lama kemudian kembali ke dekat bocah kecil yang terdiam menanti.
Bertanya bocah kecil pada sang ibu:
Sudikah kiranya ibu memberi tahu, siapakah yang menghubungi ibu malam-malam begini?
Tersenyum sang ibu mendengar pertanyaan bocah kecil di hadapannya. Demi sang bocah kecil ia menjawab dengan singkat:
Hanya sms nak.
Di tatapnya wajah sang ibu, hatinya bertanya-tanya:
Apakah sms dari ibu pertiwi atau sms dari ayahku bumi?
Dengan ihklas bocah kecil berharap, semoga kabar baik senantiasa menyertai langkah perjalanan hidup ini. Amiin.
Cibadak, Desember 2006
Judul asli Butir Air Mata Bumi Pertiwi
(Diperbaharui pada bulan Juli 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar