Fatwa Kerlip Bintang Angkasa
Oleh : Iip Saripudin,SE
Gelegar
cemeti bertubi-tubi menempa relung jiwa,
menghantam
sisi ruang hati,
mengoyak
keheningan dikegelapan malam
saat
rembulan tertutup awan hitam.
Dan ketika butir-butir
lembut menyapa kesendirian di hening malam,
nyanyian
malampun terhenti sejenak
diterpa angin
yang berhembus kencang
bersama
derasnya titik-titik air yang menghujam penghuni bumi.
Manusia pagi
berbondong tradisi,
memikul beban
hidup dan kesenangan diri,
mengayunkan
langkah-langkah menelusuri jalan setapak,
mencari
makna kesejatian demi memperjuangkan keinginan.
Setumpuk asa
pun senantiasa menggelayut dipelupuk mata,
dan
bersarang didalam kalbu,
meskipun
badai kehidupan tiada henti menggoda sisi ruang batin
yang setiap
saat menghantam ketegarannya.
Burung-burung
kini bernyanyi resah dalam kegundahannya
Sementara
jerit kesakitan masih terus membahana,
mencabik-cabik
ketidakadilan yang tampak
hingga
menembus relung-relung jiwa,
mengusik
kedamaian dimanapun ia berada.
Jika saja tak
cukup pintar merangkul dayung, maka kapal-kapal yang di kehendaki tak kan
melaju sesuai hasrat yang dimiliki. Kecuali selalu menambatkan harapan terhadap
kerelaan sang angin untuk meniup layar yang baru saja di rajut, sedangkan tali
yang sesungguhnya di butuhkan kini tengah menunggu tegur sapa serta sikap bijak
dari siapapun yang mengerti keadaan.
Kondisi apapun yang
terjadi kini, semoga tak akan menyurutkan semangat perjuangan demi perbaikan
menuju arah yang lebih baik.
Menyibak tabir perjalanan
secara beriringan akan lebih terasa indah, karena tujuan yang sesungguhnya
adalah hidup berdampingan saling mengisi ketidakberadaan diantara kita.
Alampun kini
berbahasa. Lebih tegas menyikapi tingkah laku manusia dengan berbagai reaksinya.
Karena sepertinya ia tak ingin hanya berdiam diri menerima perlakuan yang tidak
sepadan dengan apa yang telah manusia dapatkan. Ia pun bertutur kata setelah
menyaksikan keanekaragaman bentuk ketidakpedulian serta keserakahan yang bertebaran, mengakar hingga
kepenjuru
desa, karena mungkin
Tuhan tak diutamakan lagi dalam kehidupan.
Simbol-simbol perdamaian,
kebersamaan serta keadilanpun hanya menyisakan kerapuhan, hingga akhirnya menjadi
bahan lelucon yang tak cerdik.
Bangkit dari keterpurukan
yang di suarakan menjadi bahan guyonan, karena kelengahan menyikapi persoalan
kehidupan yang bergulir disekitarnya.
Rasa lapar serta dahaga
senantiasa berhimpitan dengan kondisi ketidakberdayaan menyikapi kompetisi
dalam kehidupan, sehingga otak terpengaruh melakukan berbagai tindakan
emosional, serta mendorong sikap anarkis dengan alasan klasik demi
mempertahankan hidup, karena tak berharap selamanya harus terhempas, tersisihkan
serta terbuang dari lingkaran kehidupan.
Berusaha
memahami arti keadilan lebih rumit daripada menyikapi hasil tolak ukur kelayakan menikmati
kehidupan yang sepantasnya didapatkan, dan kelayakan hidup pun akhirnya menjadi
pertanyaan besar, karena pikiran selalu dibayangi rasa ketidakadilan. Kontribusi
yang signifikan terhadap kemiskinan agar kecerdasan bangsa meningkat seiring
perkembangan jaman hingga kini masih menjadi impian. Entah kapan terwujud nyata
dalam kehidupan. Rasa kekhawatiran yang berlebihan menjadi pengasah pedang,
sehingga benih permusuhan dan kecurigaan terhadap sesame semakin tumbuh dan
berkembang. Akal sehat terkesampingkan, sementara ketidakpredulian semakin
marak dikehidupan, mendorong manusia bersikap individualis.
Dawai-dawai
gitar memercikkan kegalauan yang amat dalam,
kegalauan
merindukan kedamaian,
yang
telah terenggut kembali oleh keangkuhan hidup
dan
hampir terkulai dengan mulut menganga.
Mata
meredup dengan tatapan hampa menerawang jauh kesana,
menembus
batas ruang dan waktu,
mencari-cari
makna pertikaian anak manusia
dengan
berbagai keyakinan sebagai bahan perrtimbangannya.
Menggeliat
anak cucu pertiwi disertai isak tangis, bahkan juga tepuk tangan dengan
karangan bunga mengitari pelataran altar yang digunakan sebagai tempat ritual.
Entah untuk apa ritual itu dilakukan. Apakah seremonial menyambut lahirnya sosok
baru, ataukah ritual pemakaman.
Untuk sejenak bintang -
bintang angkasapun tertegun, dan kerlipnya yang bersahaja senantiasa menyapa,
seakan ia berfatwa :
Janganlah berberat hati
merelakan keinginannya memberikanmu peluang kehidupan, untuk dapat berdiri
sendiri serta mandiri menentukan sikapmu yang bergelora. Sementara kalian belum
juga mengerti keyakinan atas apa yang dilakukannya terhadap kalian. Dan percayalah, bahwasanya sinar terang akan terus mengiringi
serta membimbingmu menuju titik harapan yang kalian inginkan.
Cinta tak
selamanya mengharuskan dua insan atau pandangan yang berbeda untuk dipersatukan.
Karena kasih sayang dan kesungguhan mewujudkan impian bersama dapat tetap
diperjuangkan meski dalam bentuk yang
berbeda.
Prinsip perjuangan telah
diteriakkan, ikatan emosional takkan terpisahkan karena keikhlasan telah
bersemayam sekian lama dalam nurani untuk saling memberi. Dan martabat bangsa
ini menjadi pertaruhan langkah-langkah yang kita pijakkan.
Bangsa yang besar akan
terjaga kebesarannya dengan tindakan nyata, bukan hanya dengan bicara, meski manusia hanya
dapat berencana, karena pada hakekatnya Tuhanlah yang menentukan mana yang baik
dan mana yang lebih baik melalui tangan-tangan bijaksana.
Kekisruhan yang menyelinap
diantara keharmonisan adalah irama yang harus difahami serta disikapi dengan
keluwesan berpikir dalam menentukan sikap, sehingga kerukunan dapat tetap terjalin,
mengikat tali persaudaraan antara sesame manusia di belantara dunia.
Kami rindu
alunan nada yang memberikan motivasi bagi kemajuan pola pikir meski harus
berimprovisasi, namun harmonisasi harus tetap dijaga demi mempertahankan
keindahannya, hingga tak terkesan kaku dan monoton. Selama tak menyimpang dari
tujuan semula, tak ada salahnya untuk mencoba
jalani dengan segala konsekwensi atas berbagai kemungkinan yang akan terjadi
nanti.
Berharap
nurani tak terhinggapi kesombongan hidup,
serta
kebulatan tekad senantiasa menghiasi relung-relung kalbu para bijaksana, agar
apa yang telah didapatkan selama ini
memberikan
arti bagi keberlangsungan hidup untuk melanjutkan perjalanan.
Biarkan
burung – burung camar berceloteh tentang kemunafikan,
sementara
kenaifan mereka sembunyikan dibalik wajah-wajah yang menyeringai, padahal
keyakinannya tengah dilanda keresahan,
berbalut
ketidakpastian.
Tatkala
Sederet generasi bangsa menyulut kehangatan, laju roda terhambat keragu-raguan
berbalut ketidakpercayaan. Namun janganlah di hiraukan karena tekad yang
tertanam dalam keyakinan menjadi bekal perjalanan dengan mempertimbangkan etika
dalam pencarian kesejatian. Pengalaman
hidup adalah pengetahuan yang dimiliki untuk meluluhkan kerasnya kehidupan.
Jangan biarkan
kegelisahan terus bersarang dalam benak hingga menggeser keyakinan. Karena langkah
yang terpijakkan kemudian akan terayun ragu. Dan itu tak berharap terus
menghantui setiap langkah diri, hingga menghambat lahirnya sosok baru dalam
kehidupan yang akan memberikan pencerahan, demi terwujudnya kedamaian dan
kesejahteraan yang hakiki.
Sukabumi, April 2008
*Di perbaharui pada 10
September 2011*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar