Cerita Senja
Oleh : Iip Saripudin
Pelataran rumah terasa begitu akrab bagi siapapun yang berbagi cerita untuk sekedar melepas lelah setelah seharian bekerja.
Berkata lelaki kecil memecah kesunyian. “Betapa indah sang surya menghiasi senja, begitu mempesona lukisan sang Maha Pencipta”. Di pandanginya langit biru, di tatapnya awan yang bertebaran di atas sana. Kemudian berkata perempuan mungil kepada kakaknya. “Itu kan mentari kak, mengapa kakak mengatakan itu surya?”.
Untuk sang adik kakak menjawab pertanyaan itu.
“Bukan adikku sayang, itu adalah surya. Ibu yang memberitahu kakak bahwa itu surya. Mengapa kau mengatakan itu mentari adikku?”.
Menjawab perempuan mungil atas pertanyaan kakaknya.
“Bapak dan Ibu mengatakan padaku ketika aku bertanya, bahwa itu adalah mentari”.
Senyumpun menghiasi perbedaan pendapat antara kedua bocah kecil di pelataran rumah tepian bukit sore itu. Demi keindahan yang terpancar dari langit, dan demi tali persaudaraan yang mengikat, sang kakak berkata pada adiknya.
“Ketika pagi tiba, saat ayam jantan melengkingkan nyanyiannya, dimana dunia terasa benderang karenanya, orang menyebut itu fajar, meski tak sedikit orang menyebutnya mentari pagi. Sinarnya senantiasa memberikan kehangatan bagi makhluk di bumi ini. Manakala siang terik menyengat, banyak orang menyebutnya matahari. Dan ketika hari mulai mereda, dimana senja tiba, orang mengatakan bahwa itulah surya”.
Demi pendapatnya, sang adik bertutur kata pada kakaknya.
“Mengapa kakak memberi beberapa nama hanya untuk satu benda yang kuyakini bahwa itu hanyalah mentari?”.
Bergegas langkah kaki bocah-bocah kecil menghampiri bapak dan ibu mereka. Diraihnya dengan kelembutan tangan-tangan mereka serta mengajaknya memandangi keindahan alam senja itu. Demi keramah- tamahan serta santun kata yang terucap, bertanya sang adik kepada bapaknya.
“Apakah yang bersinar di atas itu surya ataukah mentari, seperti yang kuyakini?”.
Hanya ketenangan serta keteduhan yang sanggup meredakan kegelisahan. Hanya keikhlasan yang mampu meredam keresahan yang menggeliat. Hanya dengan rasa yang tulus sang bapak menjawab pertanyaan anak-anaknya.
“Apa yang dikatakan kakakmu benar, dan apa yang dikatakan adikmu juga betul nak. Percayalah, yakini apa yang kau yakini”.
Keteduhanpun terpancar dari wajah berbalut senyum lembut menyapa. Kasih sayang terpancar dari sorot mata yang menatap anak-anak mereka. Dan Perempuan mungil dihadapan mereka kali ini bertanya pada ibunya.
“Dinamakan apakah benda bercahaya itu jika berada di bawah sini bu?”.
Untuk anak-anaknya ibu menjawab.
“Jika kita membakar arang, akan kita lihat bara api. Nah, seperti itulah benda tersebut. Jadi jika di bawah sini dinamakan bara api, seperti halnya surya. Hanya saja antara surya dan mentari memiliki perbedaan. Coba nanti kalian tanyakan pada gurumu di sekolah, apa perbedaan yang ibu maksudkan”.
Kali ini bertanya sang kakak pada ibunya tentang matahari.
“Dinamakan apakah matahari jika berada di bawah sini bu?”.
Untuk anak laki-laki dan anak perempuan ibu menjawab.
“Ketahuilah nak, jika di bawah sini dinamakan lampu petromak”.
Secara bersamaan anak-anak mereka bergumam atas jawaban dari ibunya.
“Ehmmm….. lampu petromak”.
Seorang dari anak-anak mereka melangkah maju dan kembali bertanya.
“Apakah surya yang dikatakan bapak sama dengan surya yang di maksudkan oleh ibu?”.
Suasana hening sejenak, dua pasang matapun saling memandang. Dan perkataan ibu menyibak kesunyian.
“Ibu belum membicarakan hal itu dengan bapakmu nak. Suatu hari nanti setelah kami membicarakan hal itu, kami pasti akan memberitahukanmu”.
Senjapun semakin temaram. Semilir angin menghantarkan berpasang-pasang mata memandang surya yang seakan tenggelam ke dalam samudera, sunset di tepian malam.
Palabuhanratu, September 2006
(Diperbaharui : Juli 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar