Whirling Dervishes
Sema' (Tarian Berputar)
Diriwayatkan oleh Sulthan Awliya Quthubul
Ghawts Mawlana Syaikh Muhammad Nazim Adil Al Qubrusi An Naqshabandi Al Haqqani yang
diwakili oleh Mawlana Shaykh Muhammad Hisham Kabbani An
Naqshbandi Al Haqqani Ar Rabbani. Pada suatu hari saat Sayyidina
Rasulullah SAW khobah Jum'at, datanglah seorang Baduy Arab seraya bertanya
kepada Sayyidina Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah SAW, kapankah kiamat itu
datang?”. Sayyidina Rasulullah SAW tidak menjawab, Beliau hanya diam. Baduy
Arab itu terus bertanya sampai 3 kali hingga Sayyidina Jibril a.s datang
menghadap Sayyidina Rasulullah SAW dan berkata, “Tanyakanlah padanya apakah
bekal yang dia bawa untuk menyambut hari kiamat itu?”. Lalu Sayyidina
Rasulullah SAW menyampaikannya dan orang Baduy Arab itu menjawab, “Bukankah aku
memiliki Cinta kepadaMu Ya Rasulullah SAW.” Dan Sayyidina Rasulullah berkata,
“Cukuplah itu membuatmu berdekatan dengan orang yang kau cintai seperti dua
jari yang berdekatan.” Dan seketika itu juga orang Baduy Arab itu pergi tanpa mengikuti
sholat jum'at.
Saat mendengar percakapan itu, Sayyidina Abu Bakar Shiddiq
RA(1) yang selama ini risau akan pertanyaan yang sama, bertanya kepada
Sayyidina Rasulullah SAW, “Ya Sayyidina Rasulullah SAW, apakah cukup hanya
dengan Cinta?”. Kemudian Sayyidina Rasulullah SAW menjawab, “Syarat yang utama
adalah Cinta!”. Mendengar jawaban itu, hati Sayyidina Abu Bakar Shiddiq ra
sangat gembira, begitu bahagia hingga ia mulai berputar dengan jubahnya.
Gerakan memutar inilah yang kemudian dikembangkan oleh Mawlana Jalaluddin Rumi
menjadi Whirling Dervishes.
Lalu tarian ini kembali muncul beberapa abad setelahnya, yang dilakukan oleh
Mawlana Jalaluddin Rumi, seorang sufi yang juga merasakan cinta yang hampir
sama kepada gurunya Mawlana Syamsuddin At-tibrizi, atau Syams-i-Tabriz.
kemudian tarian ini terus dikembangkan oleh Thariqat Mawlawiyah atau Mevlevi,
yang kemudian menjadi seni yang dipetontonkan keseluruh dunia.
Walaupun tarian ini mempunyai makna yang dalam dan esensi spiritual yang
tinggi, namun dewasa ini, tarian ini pun sudah kehilangan maknanya, hanya
menjadi penghias mata belaka. Tetapi karena sejarah dari tarian ini tidak
sembarangan, maka akan selalu indah untuk dilihat. Oleh karena itu kami ingin
mencoba menyingkap rahasia dan hakikat yang sebenarnya dari tarian ini.
Islam adalah agama yang penuh dengan kedamaian. Dibuktikan dengan dari
sekian banyaknya tradisi dan ajaran-ajaran –yang saat ini sudah mulai dilupakan
dan ditinggalkan– salah satunya adalah tarian whirling dervish, tarian yang
dilakukan Atas nama Cinta, Dengan Cinta dan Untuk membawa Cinta.
Tarian Whirling Dervish dapat menarik siapa saja baik yang beragama islam
atau yang tidak beragama islam. Karena Tarian ini memiliki keindahan putarannya
yang dapat menyentuh kalbu lewat sentuhan spiritual yang tersirat di dalamnya.
Di zaman sekarang, dimana islam sudah dianggap agama teroris, dan tidak lagi
dipercaya sebagai agama pembawa kedamaian yang dibawa oleh Sayyidina Rasulullah
Muhammad SAW. Penyelewengan ini memicu kami untuk menyingkap Hakekat dari agama
yang penuh dengan Cinta Kasih ini, lewat berbagai jalan yang mampu membawa
kedamaian dalam hati setiap manusia. Seperti islam yang tidak menyebar lewat
satu jalan, namun banyak jalan, demikian pula dengan seni yang mengatasnamakan
Cinta Illahi.
Nama tarian itu adalah Mevlevi Sema Ceremony atau lebih akrab disebut Sema
(dalam bahasa Arab berarti “mendengar”, atau jika diterapkan dalam
definisi lebih luas adalah bergerak dalam suka cita sambil mendengarkan
nada-nada musik sembari berputar-putar sesuai dengan arah putaran alam
semesta). Di Barat, tarian ini lebih dikenal sebagai “Whirling Dervishes” atau
para Darwis yang berputar, dan digolongkan sebagai divine dance .
Mevlevi Sema Ceremony juga telah dikukuhkan oleh UNESCO
sebagai salah satu karya agung dalam tradisi lisan yang tak ternilai
harganya. Rumi dan Whirling Dervishes: Adalah satu
tarikan nafas , seperti halnya Rumi dan
puisi-puisinya. Goethe menyebut Rumi sebagai The greatest
mystic poet of the world.
Tentang ketokohan Rumi , rasanya tak perlu dibahas lagi.
Jika pengaruhnya masih demikian luas setelah 800 tahun kepergiannya, manusia
ini tentu luar biasa. William Dalrymple menulis bahwa pada saat masyarakat AS
dicekam horror Bin Laden, ternyata buku puisi terlaris sepanjang 90-an bukanlah
karya-karya penulis besar AS semacam Robert Frost, Robert Lowell, tidak juga
karya-karya klasik raksasa Eropa seperti Shakespeare, Homer, Dante; tetapi
justru karya-karya Maulana Jalaluddin Rumi . Sedangkan Rumi
sendiri “hanya” menyebut dirinya sebagai :
I am dust on the path of
Muhammad, the chosen one..
Saat ini nama Rumi dikenal cukup baik di Barat. Bahkan
beberapa komunitas disana telah membentuk semacam perkumpulan Sema,
yang bertemu setiap minggu untuk berdiskusi dan menarikan Whirling
Dervishes . Komunitas ini terdapat di beberapa Negara Eropa
seperti Swiss, Jerman, Belanda, dan AS.
Apakah mereka muslim? Tentu saja ya, karena sebagian besar penari
Whirling beragama islam. Komunitas ini menangkap ajaran Rumi atas
nama kemanusiaan yang berketuhanan dan beragamakan cinta. Sufisme yang
mereka anut menjadi semacam liberal Sufism, bukan dalam konteks ortodoksi &
ortopraksi sufisme Islam. Bagi mereka, Rumi adalah sosok yang
telah membuka mata hati mereka, bahwa manusia dengan seluruh
peradabannya hanyalah setitik debu di hadapan Tuhan.
Senada dengan itu, kalangan Islam liberal juga kerap “mendewakan” Rumi
sebagai sosok pluralis. Mereka mengikuti petuah para pendekar
pluralisme, misalnya John Hick--seorang tokoh pluralisme agama--yang kerap
mengutip kata-kata Rumi : “ Lampu-lampu itu berbeda, tapi
cahayanya sama, datang dari sumber yang sama…”
Terkadang kata-kata dan argumen Rumi dipakai oleh kalangan
Islam liberal untuk menambah hujjah(2)
mereka bahwa pluralisme agama adalah sebuah keniscayaan yang tidak bertentangan
dengan ajaran Islam. Tentu saja hujjah ini dimaksudkan untuk melemahkan posisi
argumen dari mereka yang berseberangan dengan para liberalis.
Sebaliknya, bagi mereka yang agak konservatif (selain pengikut salaf), kerap
menuding cara pandang liberalis telah membajak karya Rumi untuk
kepentingan ideologis mereka. Rumi dengan semua karyanya,
hanya bisa dipahami di atas kerangka Al-Qur'an dan Hadist. Rumi yang
telah dilucuti ke-Islam-annya adalah tak lebih dari Kahlil Gibran.
Samâ' bukanlah sembarang tarian, melainkan tarian yang memuat konsep
spiritual didalamnya. Samâ' bisa dikatakan sebagai sebuah metode intuitif untuk
membimbing setiap Individu untuk membuka jalan jiwanya menuju Tuhan. Ketika
akal pikiran tak sanggup lagi menjangkau Tuhan, maka metode semacam ini
ditempuh. Lewat samâ' , para dervishes atau darwis melakukan perjalanan mistis
spiritual(3) menuju kesempurnaan, untuk meleburkan
jiwanya dengan Tuhan(4). Dengan membuang
segala ego, menghampiri kebenaran hingga tiba di gerbang kesempurnaan.
Setelahnya, mereka kembali lagi sebagai seorang dengan tingkat kesempurnaan
yang meningkat, sehingga mampu menebar cinta kepada seluruh makhluk ciptaan
Tuhan tanpa membedakan keyakinan atau ras.
Dalam bukunya yang berjudul Sufism: A Short Introduction , William C.
Chittick mengatakan bahwa tujuan samâ' adalah memperkuat dzikir(5) kepada Allah seraya mengobarkan api yang
membakar habis segala sesuatu kecuali Dia. Bagi penari samâ' , musik adalah
bahasa rahasia, tanda-tanda Tuhan yang bersinar dan dapat didengar. Ketika
mendengar bahasa rahasia tersebut, jiwa manusia mengingat tempat kediaman
asalnya, yakni hari alastu , ketika Tuhan mengadakan perjanjian dengan Adam dan
keturunannya, dengan mengatakan, “Alastu bi rabbikum?”. “Bukankah Aku
Tuhanmu?”, yang dijawab oleh mereka dengan: “ Ya! kami bersaksi .” (QS. 7:172).
Setidaknya ada tiga unsur penting yang menjadi karakteristik samâ': pikiran,
hati (lewat ekspresi perasaan, puisi dan musik), dan tubuh (dengan menggerakan
kehidupan lewat putaran).
Terdapat rahasia tersembunyi dalam samâ'. Musik dan tari, masing-masing
menyimpan muatan spiritual. Musik yang mengiringi merupakan media untuk
membangkitkan gairah kalbu untuk mengingat Tuhan, yang bisa mengantarkan
manusia ke dalam keadaan dzauk (keadaan dimana manusia merasakan cinta
kepada Allah sedemikian besarnya, sehingga mereka ingin segera bertemu dengan
Allah), kepada asal mereka sendiri dalam ‘ketiadaan'.
Dari sudut pandang sains, segala sesuatu yang ada di alam semesta
ini dibangun dari kumpulan partikel atom. Di dalam atom terdapat elektron yang
berputar mengitari intinya. Jika kita kaitkan, sesungguhnya seluruh benda di
alam semesta ini dalam keadaan berputar. Hakikatnya manusia berputar karena ada
atom di tubuhnya yang berputar menggerakkan sel sehingga darah dapat beredar.
Kehidupan manusia pun berputar melewati beberapa fase. Dari tanah berputar
melewati berbagai fase hidup, akhirnya kembali lagi menuju tanah. Demikian juga
planet-planet berputar mengitari matahari.
Dalam samâ', putaran tubuh mengibaratkan elektron yang bertawaf mengelilingi
intinya menuju sang Maha Kuasa. Harmonisasi perputaran di alam semesta, dari
sel terkecil hingga ke sistem solar, dimaknai sebagai keberadaan Sang Pencipta.
Pikirkan ciptaan-Nya, bersyukur dan berdoalah. “Bertasbih kepada Allah apa yang
ada di langit dan apa yang ada di bumi; hanya Allah lah yang mempunyai semua
kerajaan dan semua pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu .” QS. 64:1.
Asal Tarian
1. Kota Turki
Turki atau Konya adalah kota dimana Mawlana Jalaludin Rumi memulai
ajaran ajarannya. Dan disinilah Thariqat Mawlaw iyah berkembang. Jalaludin Rumi
mendapatkan nama “Rumi” dari kota ini, yang dulunya bernama “Rum” atau “ Rome
”.
Sampai saat ini pun, tarian whirling masih sangat berkembang di Turki. Dan
menjadi salah satu nilai sejarah budaya bangsa mereka.
2. Mawlana Jalaludin Rumi
Samâ', tarian sakral yang pertama kali diajarkan oleh Maulana Jalaluddin
Rumi (1207-1273), sang penyair-sufi agung asal Persia. Samâ’ adalah upacara
atau ritual yang diadakan sebagai pengantar para penari kepada sublimasi antara
makhluk dengan Penciptanya. Upacara ini berisi adab-adab yang masing-masing
mengandung makna.
Tarian mistis yang penuh simbolisme ini pertama kali menginspirasi Rumi
setelah kehilangan guru spiritual yang sangat dicintainya, Syamsuddin Tabrizi.
Ia adalah seorang darwis misterius yang bagaikan magnet mampu menyedot seluruh
perhatian Rumi, hingga orientasi spiritual Rumi berubah secara dramatis, dari
seorang teolog dialektis menjadi seorang penyair-sufi. Kemisteriusan Syams
membuat putera Rumi menyepadankannya dengan Khidr(6).
Dikisahkan di suatu pagi, seorang pandai besi yang juga darwis bernama
Shalahuddin Faridun Zarkub menempa besinya. Pukulan itu kontan membuat Rumi
menari hingga mencapai keadaan ekstase. Lalu secara spontan dari mulut
Rumi mengalir ujaran-ujaran mistis dalam bentuk puisi.
Selanjutnya, Shalahuddin dijadikan Rumi sebagai khalifah
(wakil) untuk menggantikan posisi Syams, tempat ia mencurahkan gagasan dan
perasaannya. Setelah melembaga, tarian ini sering dilakukan Rumi selepas
shalat Isya di jalanan kota Konya, diikuti para darwis lainnya. Acara terakhir
biasanya ditutup dengan pembacaan ayat suci Al-Quran.
Bagi Rumi menari adalah Cinta. Dan Rumi tak
berhenti menari karena ia tak pernah berhenti mencintai Tuhan. Hingga tiba
saatnya di suatu senja 17 Desember 1273, ia dipanggil Sang Maha Kuasa dalam
keadaan diliputi Cinta Ilahi.
Setelah wafatnya Rumi , tarekat Maulawiyah (beserta ritual
samâ'-nya) berlanjut terus di bawah pimpinan Syaikh Husamuddin Hasan bin
Muhammad, salah seorang sahabat karibnya, yang juga dijadikan Rumi sebagai
khalifah setelah kepergian Shalahuddin. Husamuddin adalah orang yang memberinya
dorongan dan inspirasi sehingga lahirlah sebuah karya yang menjadi magnum opus Rumi
, yakni Matsnâwî . Kitab ini terdiri dari enam jilid dan berisi 25.000
untaian bait bersajak.
“Jika kau menulis sebuah buku seperti Ilahiname milik Sana'i atau Mantiq
at-Thayr milik Fariduddin Attar, niscaya akan menarik minat sekumpulan penyanyi
keliling. Mereka akan mengisi hatinya dengan apa yang kau tulis dan musik akan
digubah untuk mengiringinya”, demikian saran Husamuddin kepada Rumi di
sebuah kebun anggur Meram di luar Konya . Bersama Husamuddin lah Matsnâwî
tercipta. Sehingga karya monumental ini dikenal pula dengan sebutan Kitab-i
Husam (Bukunya Husam).
Terpesona dengan kandungan dari karya tersebut, seorang orientalis Inggris
bernama R.A Nicholson –yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk mengkaji
karya Rumi– mengatakan, Matsnâwî adalah sungai besar yang tenang dan dalam,
mengalir melalui banyak dataran yang kaya dan beragam menuju samudera tak
bertepi. Matsnâwî di mata para pengikut Rumi dianggap sebagai uraian makna
batin Al-Quran. Sementara Abdurahman Jami –penyair asal Persia– menyebutnya
“Al-Quran dalam bahasa Persia.”
Dan bab ke tiga Matsnâwî berisi tentang kefanaan dalam samâ' . “Tatkala
gendang ditabuh, serta merta sebuah rasa ekstase merasuk laksana buih yang
meleleh dari debur sang ombak.”, begitu senandung Rumi.
Setelah Husamuddin wafat, tarekat Maulawiyah berlanjut di bawah kepemimpinan
putera tertua Rumi, Sultan Walad. Di tangan puteranyalah tarekat ini
terorganisir dengan baik, hingga ajaran ayahnya tersebut menyebar ke seluruh
penjuru negeri.
Tarekat Maulawiyah di Barat lebih dikenal dengan sebutan ‘The Whirling
Dervishes' (darwis-darwis yang berputar), mengambil nama dari ciri utama
tarekat ini. Selain di Eropa, kini tarekat Maulawiyah sudah merambat ke dataran
Amerika hingga ke benua Asia.
Sekian abad lamanya pertunjukan samâ' menarik perhatian para pengembara
spiritual, hingga lahir catatan-catatan penting tentangnya. Dalam bukunya yang
berjudul Islamic Art and Spirituality , Seyyed Hossein Nasr mengatakan bahwa
samâ' diawali dengan nostalgia tentang Tuhan, berlanjut dengan keterbukaan
sedikit demi sedikit terhadap limpahan karunia dari surga, setelah itu
mengalami keadaan ekstase ( fana' ), lebur bersama Al-Haqq(7).
Rumi menyebut samâ' sebagai simbolisme kosmos, sebuah misteri yang sedang
menari. Putaran tubuh adalah tiruan alam raya, seperti planet-planet yang
berputar. Posisi tangan yang membentang secara simbolik menunjukkan bahwa
hidayah Allah diterima oleh telapak tangan kanan yang terbuka ke atas, lalu
disebarkan ke seluruh makhluk oleh tangan kiri. Ini merepresentasikan sebuah
penyerahan dan penyatuan dengan Tuhan.
Teknik Tarian
Setiap atom menari di darat atau di udara
Sadari baik-baik, seperti kita, ia berputar-putar tanpa henti di sana
Setiap atom, entah itu bahagia atau sedih,
Putaran matahari adalah ekstase yang tak terperikan
Sadari baik-baik, seperti kita, ia berputar-putar tanpa henti di sana
Setiap atom, entah itu bahagia atau sedih,
Putaran matahari adalah ekstase yang tak terperikan
Shalawat disenandungkan, gendang mulai bertabuh, seruling ney mulai ditiup.
Sekelompok darwis mengenakan atribut yang seragam. Topi yang memanjang ke atas,
jubah hitam besar, baju putih yang melebar di bagian bawahnya seperti rok,
serta tanpa alas kaki. Mereka membungkukkan badan tanda hormat lalu mulai
melepas jubah hitamnya. Posisi tangan mereka menempel di dada, bersilang mencengkram
bahu. Di tengah-tengah mereka tampak seorang Syaikh, yang berperan sebagai
pemimpin. Jubah hitam tetap ia kenakan. Ia maju mengambil tempat. Kini giliran
syaikh tersebut membungkukkan badannya pada darwis lainnya, mereka pun balas
menghormat.
Sekelompok darwis itu kemudian membentuk barisan. Satu per satu maju.
Setelah sang pemimpin memberi restu, maka ritual pun dimulai.
Tangan-tangan masih menyilang di bahu. Kaki-kaki yang telanjang mulai
merapat. Lalu dimulailah gerakan berputar yang lambat, dengan tumit kaki
dijadikan sebagai tumpuan secara bergantian, sementara kaki yang satunya
sebagai pemutar. Perlahan-lahan tangan dilepas dari bahu dan mulai terangkat.
Gerakan tangan yang anggun itu berangsur membentuk posisi horizontal. Telapak
tangan kanan menghadap ke atas, yang kiri ke bawah.
Semakin lama gerakan semakin cepat, selaras dengan ketukan irama yang
mengiringinya. Mata-mata itu nampak semakin sayu, sebagian terpejam. Kepala
mereka semakin condong ke salah satu pundaknya. Semakin cepat putaran, rok-rok
putih yang mereka kenakan semakin mengembang sempurna laksana payung yang
terbuka. Orang-orang itu semakin larut. Suasana magis seolah tercipta.
Gendang belum berhenti bertabuh, ney(8)
masih mengalun syahdu. Tanpa isyarat dari sang pemimpin ritual untuk berhenti,
mereka akan terus melambung dalam keadaan ekstase.
Posisi tangan yang membentang secara simbolik menunjukkan bahwa hidayah
Allah diterima oleh telapak tangan kanan yang terbuka ke atas, lalu disebarkan
ke seluruh makhluk oleh tangan kiri. Ini merepresentasikan sebuah penyerahan
dan penyatuan dengan Tuhan.
Atribut yang dikenakan juga merupakan metafora yang menyimpan makna. Topi
Maulawi –yang biasanya berwarna merah atau abu-abu– melambangkan batu nisan
ego, jubah hitam sebagai simbol alam kubur yang ketika dilepaskan melambangkan
kelahiran kembali menuju kebenaran, baju putih adalah kain kafan yang
membungkus ego, dan ney melambangkan jiwa yang dinafikan dari diri, digantikan
dengan Jiwa Ilahi. Seruling buluh ini juga melambangkan terompet yang ditiupkan
malaikat di hari kebangkitan untuk menghidupkan kembali orang yang mati. Karpet
merah yang biasa diduduki oleh sang syaikh melambangkan keindahan matahari dan
langit senja, yang waktu itu menghiasi kepergian Rumi untuk selamanya.
Samâ' bukanlah sembarang tarian, melainkan tarian yang memuat konsep
spiritual didalamnya. Samâ' bisa dikatakan sebagai sebuah metode intuitif untuk
membimbing setiap Individu untuk membuka jalan jiwanya menuju Tuhan. Ketika
akal pikiran tak sanggup lagi menjangkau Tuhan, maka metode semacam ini
ditempuh.
Dalam samâ', putaran tubuh mengibaratkan elektron yang bertawaf mengelilingi
intinya menuju sang Maha Kuasa. Harmonisasi perputaran di alam semesta, dari
sel terkecil hingga ke sistem solar, dimaknai sebagai keberadaan Sang Pencipta.
Pikirkan ciptaan-Nya, bersyukur dan berdoalah. “Bertasbih kepada Allah
apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi; hanya Allah lah yang mempunyai
semua kerajaan dan semua pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu .” QS.
64:1.
Akhirnya kita saksikan sang pemimpin mulai berdiri. Tabuhan gendang
terdengar dipercepat, seiring itu putaran tubuh pun semakin kencang. Kemudian
syaikh itu memberikan isyarat untuk berhenti. Seketika itu musik dan para
penari pun berhenti. Dan pertunjukan pun berakhir. Tanpa tepuk tangan, karena
samâ' bukanlah sebuah pagelaran seni.
Dengan berputarnya tubuh yang berlawanan dengan arah jarum jam, para penari
merangkul kemanusiaan dengan cinta. Manusia diciptakan dengan Cinta untuk
mencinta. “Semua cinta adalah jembatan menuju Cinta. Siapa saja yang
tak merasakannya tak akan tahu,” demikian kata Rumi .
Makam Rumi di Konya dikelola oleh pemerintah Turki sebagai
obyek wisata. Setiap tahunnya, terutama antara tanggal 2-17 Desember, ribuan
peziarah dari delapan penjuru mata angin berkunjung, menyaksikan para pengikut
Maulawi berputar untuk memperingati “malam penyatuan”, malam di mana sang guru
tercinta wafat.
Mausoleum Konya menyimpan kenangan. Saksi bisu sejarah tatkala ujaran sang
penyair agung mengisi lembar peradaban luhur Islam melalui karya estetisnya,
menjadi sumber inspirasi yang membakar jiwa para pecinta di segenap penjuru
dunia.
Seperti gelombang di atas putaran
kepalaku,
maka dalam tarian suci Kau dan aku pun berputar
Menarilah, Oh Pujaan Hati,
jadilah lingkaran putaran
Terbakarlah dalam nyala api-bukan dalam nyala lilin-Nya
maka dalam tarian suci Kau dan aku pun berputar
Menarilah, Oh Pujaan Hati,
jadilah lingkaran putaran
Terbakarlah dalam nyala api-bukan dalam nyala lilin-Nya
Rumi
Dengan berputarnya tubuh yang berlawanan dengan arah jarum jam, para penari
merangkul kemanusiaan dengan cinta.
Bahwa Tuhan menciptakan dan memberikan Cinta itu menjadi sebuah inti dari
semua cinta, yang dapat menghilangkan semua batasan (batasan baik itu agama,
budaya, ataupun ras). Di antara semua makhlukNya. Sehingga mereka dapat
mencintai semua mahkluk manusia, dan mencintai mahkluk yang lain. Dan itu dapat
menjadi sebuah obat untuk menyembuhkan penyakit individualis dan egoism dalam
diri manusia.
Dan Rumi telah menterjemahkan itu
semua dalam kesempurnaan bentuk, baik secara ucapan dalam bentuk puisi dan
tarian Sema dalam putaran jasad. Untuk dirinya merasakan cinta itu, dan
membagikan cinta itu kepada makhluknya.
Perlu disampaikan, bahwa penjelasan
ini tidak bermaksud mengajak pembaca untuk menari di hadapan Tuhan, apalagi
menganggapnya sebagai ritual yang sejajar dengan shalat, puasa, haji, dan
sebagainya. Cerita Cinta ini sekadar untuk memperkenalkan khazanah keislaman
yang dibawa oleh seorang Mawlana Jalaluddin Rumi, yang masyhur bukan saja di
Timur, tapi juga di Barat.
Terlepas dari keberatan sebagian
ulama fikih yang memandang musik dan tarian sebagai sesuatu yang diharamkan
secara syariat, jalan spiritual melalui tasawuf –yang notabene sering
menggunakan musik dan tarian sebagai media– telah memberikan sumbangan yang
sangat berarti bagi peradaban Islam. Terlebih, dalam prakteknya tasawuf mampu
memainkan peranan sebagai obat bagi penyakit spiritual yang dilanda manusia
modern yang semakin teralienasi dari poros eksistensi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar