Oleh
: Iip Saripudin
Putih merupakan simbol dari
kesucian, kemurnian serta ketulusan, sehingga dapat diartikan bahwa putih
berarti suci atau bersih tiada noda. Kata putih banyak dipergunakan para ahli
bahasa dan juga seniman untuk mengungkapkan keindahan serta ketulusan. Bahkan
para remaja yang sedang kasmaran tak jarang menggunakan kata putih untuk
mengungkapkan bahasa kalbunya. Tapi jangan merangkaikan kata putih dengan satu
kata lainnya sehingga membuahkan kalimat yang hasilnya dapat menimbulkan
masalah. Meski kedengarannya kalimat itu tidak rancu, tapi dapat menimbulkan
“kerancuan”. Mengapa begitu?.
Jawabannya
adalah karena kalimat itu akan menggiring pada suatu keadaan yang tidak
diharapkan sebagian pihak lainnya sehingga memicu situasi pada suatu kondisi
yang kurang atau tidak kondusif.
Satu
kata lainnya yang dimaksud untuk disandingkan dengan kata putih ini adalah kata
golongan, sehingga jika kedua kata tersebut digabungkan akan membuahkan kalimat
“golongan putih”. Anda boleh tidak bersepakat dengan jawaban tersebut, karena
memang masih banyak kata lainnya yang dapat disandingkan dengan kata putih ini,
diantaranya yaitu kata “kerah”, sehingga jika dua kata tersebut digabungkan
akan menghasilkan kalimat “kerah putih”.
Tak ada lagu yang tak indah, tapi
sebagian pihak beranggapan ada lagu yang tak indah atau tak enak untuk
didengar, karena semerdu apapun sipelantun lagu membawakannya tetap saja
terdengar sumbang.
Lagu
itu berjudul golongan putih, karya
anak negeri yang terdzalimi. Anda boleh saja melantunkan lagu itu, tapi
janganlah secara terbuka dan terang-terangan, karena bukan hal yang tidak
mungkin akan menyuguhkan kekisruhan. Sebaiknya lagu itu cukup dilantunkan di
kamar mandi, dan biar orang rumah saja yang mendengarnya. Mengapa demikian?.
Kita
boleh berbeda, tapi beda yang ini lain, karena ada rambu-rambu yang tidak
menghendaki hal itu terjadi,
meski tak harus membuat
sepanduk dengan ukuran besar bertuliskan “DILARANG
BERBEDA !”, atau dilarang bernyanyi lagu beda.
Anda
tidak akan dilarang untuk menanyakan hal tersebut kepada para ahli dibidangnya,
dan anda tak akan dikenakan sanksi untuk sekaligus mempertanyakan, apakah hal
itu merupakan bagian dari hak anda dalam berdemokrasi, ataukah hal itu
merupakan pengecualian dalam hidup berdemokrasi.
Apa yang kita lihat tak seperti yang
kita harapkan, dan apa yang kita harapkan mungkin tak seperti yang kita
inginkan. Seperti kisah atau cerita isteri Nabi Ibrahim As ketika melihat
hamparan air di gurun pasir yang ternyata hanya fatamorgana. Harapan telah
terpenuhi dengan terlihatnya air, tetapi harapan tidak terlengkapi karena
kenyataan tidak seperti yang diinginkan.
Diibaratkan
berkerumunnya orang dalam suatu hajatan rakyat, apa yang terlihat mungkin saja
sama seperti cerita isteri Nabi Ibrahim As ketika melihat hamparan air di gurun
pasir yang ternyata hanya fatamorgana. “Ada
tapi tidak ada”, dan peristiwa itu biasanya disambut para hadirin dengan
teriakan huu….!!, atau heuu….!!.
Mungkin
hal tersebut tak perlu dijelaskan, tapi jika anda merasa itu perlu, tak ada
salahnya untuk dijelaskan, dan penjelasannya sederhana saja. Kalimat ada tapi
tidak ada sama dengan memilih untuk tidak memilih atau sama dengan memilih tapi
sebenarnya tidak memilih.
Pertanyaannya adalah :
1. Adakah
peraturan atau hukum yang mengatur tentang tindakan tersebut?
2. Sudah
adakah orang yang dikenakan sanksi hukum karena tindakan tersebut?
Jika
saja peristiwa tersebut diatas dibalik sehingga menghasilkan kalimat “tidak ada
tapi ada”, mungkin persoalannya akan lain. (apakah
anda dapat membantu mencarikan kata atau ungkapan lain untuk hal seperti itu?).
Semoga
anda akan bersepakat untuk kasus seperti itu sebaiknya dibicarakan dan dibahas
ditempat yang telah disediakan. Mungkin para jaksa atau hakim dapat memberikan
kalimat yang tepat untuk mengganti kalimat dimaksud.
Kenyataan telah mengatakan bahwa tak
selamanya putih itu suci atau bersih. Ia harus rela dikorbankan untuk dijadikan
simbol kekecewaan serta ketidakadilan.
Golongan
putih bukanlah organisasi masyarakat (Ormas) atau organisasi sosial politik
(Orsospol), bukan pula lembaga Sosial keMasyarakatan (LSM), karena tidak
memiliki Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART). Namun
keberadaannya akan selalu menghiasi perpolitikan di negeri ini sebagai
manifestasi dari rasa kecewa, ketidakpercayaan serta ketidakadilan. Dan anda
boleh tidak bersepakat dengan pernyataan tersebut.
Namun
kenyataan telah mengatakan bahwa golongan putih merupakan stempel dari
kekecewaan, ketidakpuasan serta ketidakadilan yang dirasakan oleh satu atau
kelompok orang dalam proses berdemokrasi.
Tidak ada larangan untuk berbeda,
karena anda berhak untuk itu. Dan anda juga tak dilarang untuk meneriakkan
perbedaan asalkan jelas alasannya, agar argumentasi anda tidak mudah dibantahkan.
Tapi ingat satu hal, bahwa dalam realitas kehidupan berdemokrasi di negeri ini,
kenyataannya ada pengecualian untuk meneriakkan perbedaan.
Mungkin kita telah mengenal
rangkaian kata “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan”. Tetapi apakah kita sebagai warga negara telah dapat dengan tepat
memanifestasikan sila ke empat dari Pancasila yang merupakan salah satu pilar
hidup dalam berdemokrasi?. Bagaimana anda menjabarkan atau mengejawantahkan
sila tersebut dalam kehidupan berdemokrasi sehingga sesuai dengan substansinya.
Maka
dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, bagi mereka yang telah mengerti
persoalan ini secara mendalam, kiranya dapat secara bijak menyikapi berbagai
persoalan yang timbul serta memandang peristiwa yang terjadi sepanjang
perjalanan sejarah bangsa ini, tak lebih hanyalah suatu proses pendewasaan
dalam rangka menciptakan iklim kehidupan masyarakat yang lebih baik, yang mencerminkan rasa kemanusiaan, persatuan dan
keadilan bagi segenap rakyat, sehingga keberadaannya dapat teruji secara mikro
maupun makro untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa di mata dunia. Hehe…..
Satu-satu daun berguguran
jatuh kebumi dimakan usia,
tak terdengar tangis tak terdengar tawa,
redalah reda.
Satu-satu tunas muda bersemi
mengisi hidup gantikan yang tua,
tak terdengar tangis tak terdengar tawa, redalah reda.
Kalimat-kalimat
diatas adalah syair lagu yang dinyanyikan seniman negeri ini. Menurutku lagu
tersebut berusaha mengabarkan realita dalam siklus kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Akan
dibawa ke arah mana generasimu agar masa depan bangsa ini berkilau terang,
sehingga para pendiri serta pejuang bangsa dapat tersenyum bangga dan berkata “Inilah
Indonesiaku”.
Tunjukkan
pada dunia bahwa generasimu akan mampu menghalau badai yang datang memporak
porandakan moral bagsa ini. Dan buktikan pada rakyatmu bahwa kau percaya pada
generasimu untuk melanjutkan cita-cita perjuangan bangsa ini, dengan segenap
kesungguhan serta keikhlasanmu. Kepercayaanmu adalah kunci untuk membuka gerbang sehingga dapat memasuki ruang
untuk mengisi kemerdekaan ini.
Mengalirlah
seperti air, dan berhembuslah seperti angin dalam menelusuri dimensi ruang
sehingga dapat menemukan apa yang kita cari selama ini.
Sukabumi
- Jawa Barat – Indonesia, Januari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar