Putih merupakan simbol dari
kesucian, kemurnian serta ketulusan, sehingga dapat diartikan bahwa putih
berarti suci atau bersih tiada noda. Kata putih banyak dipergunakan para ahli
bahasa dan juga seniman untuk mengungkapkan keindahan serta ketulusan. Bahkan
para remaja yang sedang kasmaran tak jarang menggunakan kata putih untuk
mengungkapkan bahasa kalbunya. Tapi jangan merangkaikan kata putih dengan satu
kata lainnya sehingga membuahkan kalimat yang hasilnya dapat menimbulkan
masalah. Meski kedengarannya kalimat itu tidak rancu, tapi dapat menimbulkan
“kerancuan”. Mengapa begitu?.
Jawabannya
adalah karena kalimat itu akan menggiring pada suatu keadaan yang tidak
diharapkan sebagian pihak lainnya sehingga memicu situasi pada suatu kondisi
yang kurang atau tidak kondusif.
Satu
kata lainnya yang dimaksud untuk disandingkan dengan kata putih ini adalah kata
golongan, sehingga jika kedua kata tersebut digabungkan akan membuahkan kalimat
“golongan putih”. Anda boleh tidak bersepakat dengan jawaban tersebut, karena
memang masih banyak kata lainnya yang dapat disandingkan dengan kata putih ini,
diantaranya yaitu kata “kerah”, sehingga jika dua kata tersebut digabungkan
akan menghasilkan kalimat “kerah putih”.
Tak ada lagu yang tak indah, tapi
sebagian pihak beranggapan ada lagu yang tak indah atau tak enak untuk
didengar, karena semerdu apapun sipelantun lagu membawakannya tetap saja
terdengar sumbang.
Lagu
itu berjudul golongan putih, karya
anak negeri yang terdzalimi. Anda boleh saja melantunkan lagu itu, tapi
janganlah secara terbuka dan terang-terangan, karena bukan hal yang tidak
mungkin akan menyuguhkan kekisruhan. Sebaiknya lagu itu cukup dilantunkan di
kamar mandi, dan biar orang rumah saja yang mendengarnya. Mengapa demikian?.
Kita
boleh berbeda, tapi beda yang ini lain, karena ada rambu-rambu yang tidak
menghendaki hal itu terjadi,
meski tak harus membuat
sepanduk dengan ukuran besar bertuliskan “DILARANG
BERBEDA !”, atau dilarang bernyanyi lagu beda.
Anda
tidak akan dilarang untuk menanyakan hal tersebut kepada para ahli dibidangnya,
dan anda tak akan dikenakan sanksi untuk sekaligus mempertanyakan, apakah hal
itu merupakan bagian dari hak anda dalam berdemokrasi, ataukah hal itu
merupakan pengecualian dalam hidup berdemokrasi.
Apa yang kita lihat tak seperti yang
kita harapkan, dan apa yang kita harapkan mungkin tak seperti yang kita
inginkan. Seperti kisah atau cerita isteri Nabi Ibrahim As ketika melihat
hamparan air di gurun pasir yang ternyata hanya fatamorgana. Harapan telah
terpenuhi dengan terlihatnya air, tetapi harapan tidak terlengkapi karena
kenyataan tidak seperti yang diinginkan.
Diibaratkan
berkerumunnya orang dalam suatu hajatan rakyat, apa yang terlihat mungkin saja
sama seperti cerita isteri Nabi Ibrahim As ketika melihat hamparan air di gurun
pasir yang ternyata hanya fatamorgana. “Ada
tapi tidak ada”, dan peristiwa itu biasanya disambut para hadirin dengan
teriakan huu….!!, atau heuu….!!.
Mungkin
hal tersebut tak perlu dijelaskan, tapi jika anda merasa itu perlu, tak ada
salahnya untuk dijelaskan, dan penjelasannya sederhana saja. Kalimat ada tapi
tidak ada sama dengan memilih untuk tidak memilih atau sama dengan memilih tapi
sebenarnya tidak memilih.
Pertanyaannya adalah :
1. Adakah
peraturan atau hukum yang mengatur tentang tindakan tersebut?
2. Sudah
adakah orang yang dikenakan sanksi hukum karena tindakan tersebut?
Jika
saja peristiwa tersebut diatas dibalik sehingga menghasilkan kalimat “tidak ada
tapi ada”, mungkin persoalannya akan lain. (apakah
anda dapat membantu mencarikan kata atau ungkapan lain untuk hal seperti itu?).
Semoga
anda akan bersepakat untuk kasus seperti itu sebaiknya dibicarakan dan dibahas
ditempat yang telah disediakan. Mungkin para jaksa atau hakim dapat memberikan
kalimat yang tepat untuk mengganti kalimat dimaksud.
Kenyataan telah mengatakan bahwa tak
selamanya putih itu suci atau bersih. Ia harus rela dikorbankan untuk dijadikan
simbol kekecewaan serta ketidakadilan.
Golongan
putih bukanlah organisasi masyarakat (Ormas) atau organisasi sosial politik
(Orsospol), bukan pula lembaga Sosial keMasyarakatan (LSM), karena tidak
memiliki Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART). Namun
keberadaannya akan selalu menghiasi perpolitikan di negeri ini sebagai
manifestasi dari rasa kecewa, ketidakpercayaan serta ketidakadilan. Dan anda
boleh tidak bersepakat dengan pernyataan tersebut.
Namun
kenyataan telah mengatakan bahwa golongan putih merupakan stempel dari
kekecewaan, ketidakpuasan serta ketidakadilan yang dirasakan oleh satu atau
kelompok orang dalam proses berdemokrasi.
Tidak ada larangan untuk berbeda,
karena anda berhak untuk itu. Dan anda juga tak dilarang untuk meneriakkan
perbedaan asalkan jelas alasannya, agar argumentasi anda tidak mudah dibantahkan.
Tapi ingat satu hal, bahwa dalam realitas kehidupan berdemokrasi di negeri ini,
kenyataannya ada pengecualian untuk meneriakkan perbedaan.
Mungkin kita telah mengenal
rangkaian kata “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan”. Tetapi apakah kita sebagai warga negara telah dapat dengan tepat
memanifestasikan sila ke empat dari Pancasila yang merupakan salah satu pilar
hidup dalam berdemokrasi?. Bagaimana anda menjabarkan atau mengejawantahkan
sila tersebut dalam kehidupan berdemokrasi sehingga sesuai dengan substansinya.
Maka
dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, bagi mereka yang telah mengerti
persoalan ini secara mendalam, kiranya dapat secara bijak menyikapi berbagai
persoalan yang timbul serta memandang peristiwa yang terjadi sepanjang
perjalanan sejarah bangsa ini, tak lebih hanyalah suatu proses pendewasaan
dalam rangka menciptakan iklim kehidupan masyarakat yang lebih baik, yang mencerminkan rasa kemanusiaan, persatuan dan
keadilan bagi segenap rakyat, sehingga keberadaannya dapat teruji secara mikro
maupun makro untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa di mata dunia. Hehe…..
Satu-satu daun berguguran
jatuh kebumi dimakan usia,
tak terdengar tangis tak terdengar tawa,
redalah reda.
Satu-satu tunas muda bersemi
mengisi hidup gantikan yang tua,
tak terdengar tangis tak terdengar tawa, redalah reda.
Kalimat-kalimat
diatas adalah syair lagu yang dinyanyikan seniman negeri ini. Menurutku lagu
tersebut berusaha mengabarkan realita dalam siklus kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Akan
dibawa ke arah mana generasimu agar masa depan bangsa ini berkilau terang,
sehingga para pendiri serta pejuang bangsa dapat tersenyum bangga dan berkata “Inilah
Indonesiaku”.
Tunjukkan
pada dunia bahwa generasimu akan mampu menghalau badai yang datang memporak
porandakan moral bagsa ini. Dan buktikan pada rakyatmu bahwa kau percaya pada
generasimu untuk melanjutkan cita-cita perjuangan bangsa ini, dengan segenap
kesungguhan serta keikhlasanmu. Kepercayaanmu adalah kunci untuk membuka gerbang sehingga dapat memasuki ruang
untuk mengisi kemerdekaan ini.
Mengalirlah
seperti air, dan berhembuslah seperti angin dalam menelusuri dimensi ruang
sehingga dapat menemukan apa yang kita cari selama ini.
Berwarnanya hidup memberikan arti tersendiri bagi laju
kehidupan. Berjuta makna mengalir menelusuri sungai menuju muara, menyatu di
samudera kehidupan. Derai tawa dan air mata menyapa senja di tepian malam,
diantara tunas-tunas muda yang kian menggeliat menanti giliran berkata-kata,
setelah lelah terbaring di pangkuan malam. Sementara hasrat berharap benak
terkuak, menyiratkan makna untaian kata sederhana dapat dicerna dengan bijak
tanpa prahara.
Menyadari sepenuhnya,
bahwa setiap keterbatasan itu akan menyimpan pertanyaan, memohon jawaban.
Harus kita sadari sepenuhnya, bahwa setiap
kita mempunyai keterbatasan dalam segala hal. Namun hasrat yang tersimpan tak
harus selamanya terbenam dan mengendap dalam jiwa dan pikiran lalu menggumpal
dalam otak, bergejolak didasar hati sehingga suatu saat akan menimbulkan
berbagai reaksi tak berkesudahan sebagai respon yang tertunda. Dan disstu sisi
keinginan seakan menjadi suatu keharusan untuk secepatnya terwujudkan dalam
kenyataan sehingga tak hanya membuahkan angan-angan saja. Tapi akal sehatpun
bicara, menyikapi angan-angan itu, untuk berharap bahwa ini bukanlah hal
premature yang kemudian hari menjadi perdebatan panjang dengan resiko yang tak
pernah kita perkirakan sebelumnya.
Ongkos politiknya terlalu mahal bung!, berpa
banyak yang harus dikorbankan demi untuk memaksakan suatu kehendak dengan
pertimbangan yang dangkal. Begitu sang politikus berkata tatkala sebuah wacana
ditawarkan untuk segera digulirkan dan berharap mengkristal serta mengerucut
pada sasaran yang diinginkan.
Setiap
kata yang terucap berharap adalah suatu makna dari realitas kehidupan dimana
kita berpijak dan bernapas, serta dapat memberikan sebuah arti bagi
keberlangsungan hidup setiap yang senantiasa penuh warna, dimana kejujuran
merupakan harapan yang tak ternilai harganya, dan hamper sulit untuk
mendapatkannya hingga hari ini. Bukan karena suatu ajaran membenarkan
ketidakjujuran tidak diharamkan untuk suatu kebaikan, tapi karena terlalu banyak
kepentingan didalamnya yang memaksa kejujuran itu harus tersimpan.
Namun sikap pembodohan terhadap suatu
kenyataan hidup merupakan bentuk lain dari penjajahan yang bertentangan dengan
landasan hidup bangsa serta membelenggu ideologi sikap otak dan kreativitas
juga aktivitas setiap makhluk yang berkeinginan untuk berbuat sesuatu menuju
arah masa depan bangsa yang bermartabat lebih tinggi dimata dunia tanpa
menghilangkan norma-norma dan etika dalam kehidupan dibumi ini.
Kebersamaan
dalam menuangkan pola pikir berharap menjadi satu keharusan yang tak dapat
ditawar-tawar lagi, untuk menyamakan persepsi tentang suatu langkah kedepan
dengan terobosan-terobosan dalam menyelesaikan berbagai persoalan sehingga
dapat membuat perubahan keadaan menuju arah yang lebih baik serta berguna bagi
makhluk hidup di bumi ini.
Secercah
harapan berawal dari sini, ditempat kita tegak berdiri, dimana kita dapat
mengatakan juga mengabarkan realita kehidupan yang sesungguhnya tengah terjadi.
Perubahan menuju arah yang lebih baik dapat kita mulai dengan memperhatikan dan
mengabarkan realita yang sesungguhnya terjadi disekitar kita bernaung dan
membenahi diri dengan bekal kepercayaan diri serta adanya keberanian mengatakan
apa yang seharusnya kita katakan, tanpa harus menutup diri, karena hari ini
banyak cara untuk mengungkapkan apa yang terjadi dan kita rasakan dengan hak
perlindungan atas apa yang kita katakan dan rasakan, apapun bentuk
pengungkapannya.
Lakukan
apa yang harus dilakukan, karena ini merupakan awal dari bentuk kepedulian,
yang tercermin dalam pranata kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan rasa
peduli terhadap diri sendiri, untuk kemudian tumbuh dan berkembang menjadi
suatu kepedulian terhadap sesuatu yang lebih luas.
Jangan biarkan sikap pembodohan terus merajalela
dengan leluasa diantara kita, jangan biarkan penyakit menahun menyerang kita,
karena itu akan menghambat laju keinginan tentang suatu harapan lalu membunuh
kreativitas secara perlahan namun pasti.
Regenerasi
harus segera dilakukan dengan pembinaan pola pikir serta pengembangan ilmu
pengetahuan dan wawasan disegala bidang,
sebagai bekal menuju suatu harapan dimasa depan dengan persiapan matang yang
tak mudah dimentahkan, karena kompetisi dalam kehidupan akan terus bergulir
dengan konsekwensi dan resiko yang akan ditempuh dalam bentuk apapun.
Dan dipojok-pojok sana para aktivis
berkumpul, mendesain cita-cita demi merealisasikan harapannya agar sesuai
dengan apa yang diinginkan.
Sementara ditengah-tengah keramaian kota
segelintir orang berpesta pora merayakan kemenangan atas hasil rampokan yang
dilakukannya disiang bolong kemarin sore.
Pernyataan sikap bukanlah sesuatu yang sakral
untuk segera disikapi lalu ditindaklanjuti, karena ada suatu proses dalam
mempertimbangkan keputusan sehingga menghasilkan kata akhir.
Manusia
mempunyai hasrat dan keinginan yang bervariasi dalam berbagai hal, meskipun tak
jarang juga yang mempunyai kesamaan atau kemiripan dalam menyikapi
permasalahan. Perbedaan pemikiran merupakan anugerah tak terhingga yang
sepatutnya kita sikapi dengan bijaksana, sehingga perbedaan tersebut menuntun
arah menuju penyelesaian permasalahan.
Pemikiran yang besar tidak lahir begitu saja,
namun melalui suatu proses yang tumbuh dengan pengaruh lingkungan, religi,
tradisi dan budaya serta berbagai peristiwa sejarah, tafakur, perenungan diri
maupun nuansa pergolakan batin yang dirasakan.
Tidaklah heran jika hari ini atau suatu hari
nanti hadir ditengah-tengah kita pemikiran-pemikiran jenius sehingga
memunculkan perspektif yang belum pernah ada sebelumnya, meski tak mudah untuk
dapat menerimanya dalam realitas kehidupan yang majemuk.
Perbedaan pandangan bukanlah hal aneh yang
senantiasa kita jumpai dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dalam
bingkai ideologi yang menimbulkan perhelatan tiada henti untuk mencapai tujuan
yang dicita-citakan serta dapat menjadi landasan bagi keberlangsungan hidup
dalam sosial kemasyarakatan.
Sepantasnyalah pemikiran-pemikiran yang
mengarah pada suatu pembaharuan tidak dipandang negatif sehingga tidak menimbulkan kecurigaan - kecurigaan yang berdampak pada pengkerdilan hak manusia
untuk bicara dan berpendapat serta mengembangkan pemikirannya untuk suatu
perubahan keadaan.
Seperti
kisah seorang pelayan yang biasa menyuguhkan makanan dalam pertemuan keramat di
sebuah istana raja, yang memberikan perspektif terhadap persoalan yang dihadapi
tuan-tuannya ketika terjadi perbedaan pendapat tentang suatu hal yang
dihadapinya.
Begini kisahnya, hehe…….. :
Suatu
hari di dalam pertemuan keramat berkumpullah para petinggi-petinggi istana.
Semua hadirin tampak serius memperhatikan apa yang diutarakan seorang petinggi
istana berkacamata hitam.
“Hari ini kita berkumpul untuk yang kesekian
kalinya, dan masih saja mempersoalkan hidangan yang tersedia dimeja ini.
Masakan ini telah diramu berpuluh-puluh tahun, bahkan mungkin berabad-abad lalu
oleh para pendahulu kita, untuk tetap dipertahankan cita rasa khasnya yang
sesuai dengan selera khalayak ramai. Untuk apalagi harus diperdebatkan?.
Bukankah kita dalam keadaan sadar betul ketika menikmati masakan ini, dan tidak
sedang bermimpi”.
Seorang petinggi berdasi mengomentari atas
apa yang telah dikemukakan temannya itu.
“Masakan ini terasa tidak pas dilidahku. Aku
tak begitu menikmatinya, dan aku mengharapkan rasa yang lainnya. Karena masakan
ini dirasakan tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap metabolisme
tubuhku, sehingga bibirku terasa kaku untuk berucap kata. Setiap kalimat yang
kuucapkan seakan rancu jika harus mengatakan bahwa masakan ini sedap untuk
dinikmati. Dan aku tak ingin membohongi diriku sendiri. Aku harus jujur
mengakui bahwa sesungguhnya aku kecewa dengan rasa dari masakan ini, karena aku
menyukai masakan yang manisnya lebih terasa”.
Seorang petinggi lain dengan rompi ditubuhnya
tak tinggal diam mendengar apa yang dikatakan rekannya.
“Mungkin rasa yang kau inginkan terasa baik
bagi anda, tetapi tidak bagiku!. Karena aku cenderung lebih menikmati masakan
yang rasa garamnya terasa, sehingga lebih dapat memberikan kehangatan bagiku”.
Ia berucap dengan penuh semangat.
Petinggi bertopi hitam yang duduk dihadapan
lelaki tadi, dengan cepat mengomentari apa yang dikatakannya.
“Tidak!. Aku sangat menyukai masakan beraroma
pedas, dengan rasa garam dan manisnya yang setiap saat dapat mengundang selera,
serta membangkitkan semangat hidup ini”.
Petinggi dengan balutan jaket ditubuhnya tertegun
sejenak mendengarkan apa yang diungkapkan rekannya. Dengan didahului tarikan
nafas panjang ia berkata.
“Kalian boleh saja berpendapat demikian. Tapi
aku mengharapkan kombinasi rasa yang lain, karena aku menggemari masakan dengan
rasa manis bercampur asam dengan sedikit rasa pedas. Hangatnya akan lebih
terasa mengundang selera”.
Begitu dasyatnya perdebatan para petinggi
istana itu, sehingga harus mengorbankan waktu serta menguras tenaga dan
pikiran, bahkan nyawa sekalipun untuk menemukan jalan penyelesaiannya.
Ditengah-tengah perdebatan yang sengit,
seorang pelayan datang menyuguhkan air hangat yang dibawanya dari dapur setelah
dipanaskan oleh juru masak istana. Dengan nada pelan pelayan istana berucap.
“Maaf
tuan-tuan. Saya hanya sekedar mengingatkan, jika hari ini adalah hari
jum’at”. Setelah berkata demikian pelayanpun bergegas pergi.
Para petinggi saling berpandangan satu dengan
lainnya demi mendengar perkataan dari sang pelayan istana. Tak lama kemudian
mereka bersepakat untuk menunda pembahasan hingga waktu yang telah ditetapkan.
Setelah rehat beberapa saat
lamanya, pembahasanpun dilanjutkan kembali. Perdebatan pun semakin tajam. Masing-masing
beradu argumentasi untuk mempertahankan apa yang diyakininya. Sementara dari
dalam istana, dengan langkah tergopoh-gopoh seorang pelayan datang menghampiri
para petinggi. Dihadapan para petinggi pelayanpun berucap dengan santun.
“Maaf tuan-tuan, saya hanya sekedar
mengingatkan bahwa, disana ada beberapa wajan berukuran sedang. Jika tuan-tuan
berkenan, saya akan memohon kepada juru masak istana untuk menuangkan masakan
dari wajan besar yang tuan-tuan bicarakan hingga detik ini kedalam wajan – wajan
yang tersedia. Mungkin dengan demikian
tuan-tuan dapat mengolah kembali masakannya. Apakah bahan masakannya ditambah
atau dikurang, sehingga dapat memberikan rasa yang sesuai selera tuan-tuan. Biarlah
wajan besar itu berisi olahan makanan dari bahan-bahan masakan, serta
rempah-rempah dengan cita rasa khas yang tak dimiliki istana lain yang telah sekian lama dijaga keasliannya. Kemudian
apabila tuan-tuan berharap lain, maka tuan-tuan sekalian dapat menuangkan
masakan tersebut kedalam wajan-wajan kecil ditempat tuan-tuan berada, sehingga
rakyat banyak dapat mencicipinya. Namun jangan tersinggung jika rakyat dimana
tuan-tuan berada berkomentar lain atas masakan yang ditawarkan. Karena bukan
hal yang tidak mungkin rakyat masih menginginkan cita rasa masakan yang
bersumber dari wajan besar warisan nenek moyang”.
Selesai berbicara pelayanpun berlalu dari
hadapan para petinggi tersebut.
Para petinggi istana tertegun sejenak setelah
mendengar kata-kata yang disampaikan pelayan. Suasana hening sejenak. Hanya sesekali
terdengar helaan nafas panjang para petinggi istana dalam ruang pertemuan
keramat itu. Mereka saling berpandangan dengan kerutan dikeningnya.
Kisah
tersebut berharap dapat memberikan Perspektivitas bagi keberlangsungan hidup
bermasyarakat dialam demokrasi ini. Dimana setiap manusia memiliki keragaman
pemikiran, meski terkadang tak mudah dicerna untuk diejawantahkan dalam
realitas kehidupan. Apa yang menjadi dasar-dasar pemikirannya, sudah sesuaikah dengan substansinya.
Diantara satu dengan lainnya cenderung terciptakan suatu kondisi yang
kompetitif disertai berbagai liku didalamnya. Namun demikian, demokrasi
mengisyaratkan untuk memberikan Labensrum
terhadap setiap warga negara yang berserikat atau berkumpul, demi mewujudkan
cita-cita yang di harapkannya. Dan semoga cita-cita tersebut dapat memberikan
perubahan bagi kemajuan bersama.
Sifat dasar yang timbul dalam
kondisi saling mempengaruhi seringkali terjadi karena suatu alasan mendasar yang
diyakini dapat memberikan perspektivitas
terhadap keadaan yang dicita-citakan, sehingga mengarah pada tuntutan
pembuktian atas peristiwa yang terjadi berdasarkan fakta-fakta yang ada. Namun
secara naluriah, pemikiran-pemikiran yang muncul atas ide atau gagasan orang
lain akan menimbulkan perdebatan, serta perhelatan yang seakan tiada henti. Tapi
tentunya semua itu
diharapkan untuk menuju pada suatu kesimpulan, serta
berkesepakatan dan berkesepahaman sehingga tidak terjadi kontradiksio interminis.
Berdasarkan
pengalaman hidup suatu bangsa serta perjalanan sejarah kemanusiaan, telah mendokumentasikan berbagai peristiwa
yang menorehkan luka sangat mendalam akibat dari perselisihan yang mengarah dan
mendorong pada suatu tindakan anarkis tak terkendali, diiringi sikap provokatif
dari pihak-pihak tak bertanggungjawab yang memanfaatkan situasi serta mencuri
kesempatan, dengan mengharapkan kondisi
menjadi tidak menentu. Sehingga akhirnya terjadi pertumpahan darah serta
pengebirian hak-hak manusia dalam berbagai hal. Memang tak mudah untuk menyamakan
persepsi, karena harus dapat menerima segala konsekwensinya, meskipun proses
argumentasi telah dilakukan, disertai berbagai faktor penunjang lainnya. Apabila
tidak menemui kata sepakat, maka akan
terdapat hambatan-hambatan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung
untuk merealisasikannya.
Sepakat
untuk bersepakat, atau sepakat untuk tidak bersepakat hanyalah fenomena yang
seharusnya menyadarkan semua pihak, bahwa diantara kita akan selalu terdapat
perbedaan meskipun tak begitu mendasar, sehingga tak dapat memaksakan kehendaknya
sendiri. Namun demikian bukanlah berarti kebebasan berbeda pendapat menjadi
suatu alasan untuk berbuat sesuatu tanpa alasan jelas, yang pada akhirnya akan
mengorbankan hajat hidup orang banyak, yang timbul karena kebebasan itu.
Jangan biarkan rakyat terbelenggu dalam
ketidaktahuan tentang apa yang tengah terjadi kini, dan jangan biarkan rakyat terpasung
dalam rasa ketakutan, sehingga terpojokkan dengan menanggung beban yang tak
seharusnya mereka pikul karena ketidaktahuan serta ketakutannya.
Diantara generasi bangsa yang tumbuh hari ini
akan lahir seorang pemimpin dikemudian hari, untuk itu jangan biarkan bangsa
dan negara ini hancur, luluh lantak hanya karena generasinya tak pandai, baik
dalam menentukan sikap, cara berpikir maupun dalam memilih dan memilah mana
yang baik dan mana yang tidak baik untuk dilakukan. Dan akupun tak berharap
suatu hari nanti aku bercerita pada anak cucuku bahwa disini pernah ada sebuah
negara yang bernama “Indonesia”.
Dengan cucuran keringat serta tumpahan darah,
para pendiri serta pejuang bangsa telah berhasil mengantarkan rakyat Indonesia
kedepan pintu gerbang kemerdekaan, dan kemerdekaan tersebut adalah milik kita, milik
rakyat Indonesia dengan kebinekaannya..
Semoga
uraian diatas dapat memberikan inspirasi juga prespektivitas bagi semua pihak yang mempunyai niat tulus serta
itikad baik, untuk bersama-sama menyuguhkan hari esok yang lebih baik dari hari
sebelumnya, dengan resiko yang relatif kecil terhadap kemungkinan timbulnya
korban, sebagai dampak dari proses yang bergulir. Sehingga arah menuju kata
akhir senantiasa dapat dimengerti berbagai pihak serta dapat diterima dengan
tangan terbuka.
Sukabumi,
Januari 2008
Catatan Kaki :
Labensrum adalah, Lingkup ruang bangsa sesuai dengan
jumlah dan kepentingannya
Perspektif adalah, Peninjauan, Tinjauan
Prespektivitas adalah, Daya tinjau terhadap sesuatu
fenomena
Kontradiksio interminis adalah, Majas memperlihatkan sesuatu yang bertentangan
dengan apa yang dikatakannya semula, yang kemudian disangkalnya lagi dengan
ucapannya kemudian.
Dan ketika butir-butir
lembut menyapa kesendirian di hening malam,
nyanyian
malampun terhenti sejenak
diterpa angin
yang berhembus kencang
bersama
derasnya titik-titik air yang menghujam penghuni bumi.
Manusia pagi
berbondong tradisi,
memikul beban
hidup dan kesenangan diri,
mengayunkan
langkah-langkah menelusuri jalan setapak,
mencari
makna kesejatian demi memperjuangkan keinginan.
Setumpuk asa
pun senantiasa menggelayut dipelupuk mata,
dan
bersarang didalam kalbu,
meskipun
badai kehidupan tiada henti menggoda sisi ruang batin
yang setiap
saat menghantam ketegarannya.
Burung-burung
kini bernyanyi resah dalam kegundahannya
Sementara
jerit kesakitan masih terus membahana,
mencabik-cabik
ketidakadilan yang tampak
hingga
menembus relung-relung jiwa,
mengusik
kedamaian dimanapun ia berada.
Jika saja tak
cukup pintar merangkul dayung, maka kapal-kapal yang di kehendaki tak kan
melaju sesuai hasrat yang dimiliki. Kecuali selalu menambatkan harapan terhadap
kerelaan sang angin untuk meniup layar yang baru saja di rajut, sedangkan tali
yang sesungguhnya di butuhkan kini tengah menunggu tegur sapa serta sikap bijak
dari siapapun yang mengerti keadaan.
Kondisi apapun yang
terjadi kini, semoga tak akan menyurutkan semangat perjuangan demi perbaikan
menuju arah yang lebih baik.
Menyibak tabir perjalanan
secara beriringan akan lebih terasa indah, karena tujuan yang sesungguhnya
adalah hidup berdampingan saling mengisi ketidakberadaan diantara kita.
Alampun kini
berbahasa. Lebih tegas menyikapi tingkah laku manusia dengan berbagai reaksinya.
Karena sepertinya ia tak ingin hanya berdiam diri menerima perlakuan yang tidak
sepadan dengan apa yang telah manusia dapatkan. Ia pun bertutur kata setelah
menyaksikan keanekaragaman bentuk ketidakpedulian serta keserakahan yang bertebaran, mengakar hingga
kepenjuru
desa, karena mungkin
Tuhan tak diutamakan lagi dalam kehidupan.
Simbol-simbol perdamaian,
kebersamaan serta keadilanpun hanya menyisakan kerapuhan, hingga akhirnya menjadi
bahan lelucon yang tak cerdik.
Bangkit dari keterpurukan
yang di suarakan menjadi bahan guyonan, karena kelengahan menyikapi persoalan
kehidupan yang bergulir disekitarnya.
Rasa lapar serta dahaga
senantiasa berhimpitan dengan kondisi ketidakberdayaan menyikapi kompetisi
dalam kehidupan, sehingga otak terpengaruh melakukan berbagai tindakan
emosional, serta mendorong sikap anarkis dengan alasan klasik demi
mempertahankan hidup, karena tak berharap selamanya harus terhempas, tersisihkan
serta terbuang dari lingkaran kehidupan.
Berusaha
memahami arti keadilan lebih rumit daripada menyikapi hasil tolak ukur kelayakan menikmati
kehidupan yang sepantasnya didapatkan, dan kelayakan hidup pun akhirnya menjadi
pertanyaan besar, karena pikiran selalu dibayangi rasa ketidakadilan. Kontribusi
yang signifikan terhadap kemiskinan agar kecerdasan bangsa meningkat seiring
perkembangan jaman hingga kini masih menjadi impian. Entah kapan terwujud nyata
dalam kehidupan. Rasa kekhawatiran yang berlebihan menjadi pengasah pedang,
sehingga benih permusuhan dan kecurigaan terhadap sesame semakin tumbuh dan
berkembang. Akal sehat terkesampingkan, sementara ketidakpredulian semakin
marak dikehidupan, mendorong manusia bersikap individualis.
Dawai-dawai
gitar memercikkan kegalauan yang amat dalam,
kegalauan
merindukan kedamaian,
yang
telah terenggut kembali oleh keangkuhan hidup
dan
hampir terkulai dengan mulut menganga.
Mata
meredup dengan tatapan hampa menerawang jauh kesana,
menembus
batas ruang dan waktu,
mencari-cari
makna pertikaian anak manusia
dengan
berbagai keyakinan sebagai bahan perrtimbangannya.
Menggeliat
anak cucu pertiwi disertai isak tangis, bahkan juga tepuk tangan dengan
karangan bunga mengitari pelataran altar yang digunakan sebagai tempat ritual.
Entah untuk apa ritual itu dilakukan. Apakah seremonial menyambut lahirnya sosok
baru, ataukah ritual pemakaman.
Untuk sejenak bintang -
bintang angkasapun tertegun, dan kerlipnya yang bersahaja senantiasa menyapa,
seakan ia berfatwa :
Janganlah berberat hati
merelakan keinginannya memberikanmu peluang kehidupan, untuk dapat berdiri
sendiri serta mandiri menentukan sikapmu yang bergelora. Sementara kalian belum
juga mengerti keyakinan atas apa yang dilakukannya terhadap kalian. Dan percayalah, bahwasanya sinar terang akan terus mengiringi
serta membimbingmu menuju titik harapan yang kalian inginkan.
Cinta tak
selamanya mengharuskan dua insan atau pandangan yang berbeda untuk dipersatukan.
Karena kasih sayang dan kesungguhan mewujudkan impian bersama dapat tetap
diperjuangkan meski dalam bentuk yang
berbeda.
Prinsip perjuangan telah
diteriakkan, ikatan emosional takkan terpisahkan karena keikhlasan telah
bersemayam sekian lama dalam nurani untuk saling memberi. Dan martabat bangsa
ini menjadi pertaruhan langkah-langkah yang kita pijakkan.
Bangsa yang besar akan
terjaga kebesarannya dengan tindakan nyata, bukan hanya dengan bicara, meski manusia hanya
dapat berencana, karena pada hakekatnya Tuhanlah yang menentukan mana yang baik
dan mana yang lebih baik melalui tangan-tangan bijaksana.
Kekisruhan yang menyelinap
diantara keharmonisan adalah irama yang harus difahami serta disikapi dengan
keluwesan berpikir dalam menentukan sikap, sehingga kerukunan dapat tetap terjalin,
mengikat tali persaudaraan antara sesame manusia di belantara dunia.
Kami rindu
alunan nada yang memberikan motivasi bagi kemajuan pola pikir meski harus
berimprovisasi, namun harmonisasi harus tetap dijaga demi mempertahankan
keindahannya, hingga tak terkesan kaku dan monoton. Selama tak menyimpang dari
tujuan semula, tak ada salahnya untuk mencoba
jalani dengan segala konsekwensi atas berbagai kemungkinan yang akan terjadi
nanti.
Berharap
nurani tak terhinggapi kesombongan hidup,
serta
kebulatan tekad senantiasa menghiasi relung-relung kalbu para bijaksana, agar
apa yang telah didapatkan selama ini
memberikan
arti bagi keberlangsungan hidup untuk melanjutkan perjalanan.
Biarkan
burung – burung camar berceloteh tentang kemunafikan,
sementara
kenaifan mereka sembunyikan dibalik wajah-wajah yang menyeringai, padahal
keyakinannya tengah dilanda keresahan,
berbalut
ketidakpastian.
Tatkala
Sederet generasi bangsa menyulut kehangatan, laju roda terhambat keragu-raguan
berbalut ketidakpercayaan. Namun janganlah di hiraukan karena tekad yang
tertanam dalam keyakinan menjadi bekal perjalanan dengan mempertimbangkan etika
dalam pencarian kesejatian. Pengalaman
hidup adalah pengetahuan yang dimiliki untuk meluluhkan kerasnya kehidupan.
Jangan biarkan
kegelisahan terus bersarang dalam benak hingga menggeser keyakinan. Karena langkah
yang terpijakkan kemudian akan terayun ragu. Dan itu tak berharap terus
menghantui setiap langkah diri, hingga menghambat lahirnya sosok baru dalam
kehidupan yang akan memberikan pencerahan, demi terwujudnya kedamaian dan
kesejahteraan yang hakiki.
SUATU hari di negara antah berantah, muncul suatu kebijakan baru yang
belum pernah dilakukan sebelumnya di negara lain.
Kebijakan itu yakni, setiap orang yang berstatus wakil dinaikkan
pangkatnya. Wakil presiden jadi presiden, wakil direktur menjadi
direktur, wakil komandan menjadi komandan wakil gubernur menjadi
gubernur, wakil RT menjadi ketua RT dan seterusnya. Yang penting dalam
program ini tidak ada penggusuran posisi. Perkara ada posisi ganda, itu
bisa diatur dalam pembagian tugasnya.
Masalah pembengkakan anggaran, semua ditanggung oleh negara. Sesudah
mantap dengan rencana itu, diajukanlah program ini ke DPR untuk
mendapatkan persetujuan mereka. Ternyata mereka menolak. Betul-betul
menolak keras. Bahkan, ditolak mentah-mentah dengan sangat keras.
Alasannya, program ini menyengsarakan anggota DPR. Bayangkan, mereka
akan berubah status dari wakil rakyat menjadi rakyat.
Fenomena Gila
Konon, guyonan mantan Presiden Abdurrahman Wahid selalu
ditunggu-tunggu oleh banyak kalangan, termasuk presiden dari berbagai
negara.
Pernah suatu ketika, Gus Dur membuat tertawa Raja Saudi yang dikenal
sangat serius dan hampir tidak pernah tertawa. Oleh Kiai Mustofa Bisri
(Gus Mus), momentum tersebut dinilai sangat bersejarah bagi rakyat
Negeri Kaya Minyak. “Kenapa?” tanya Gus Dur.
“Sebab sampeyan sudah membuat Raja ketawa sampai giginya kelihatan.
Baru kali ini rakyat Saudi melihat gigi rajanya,” jelas Gus Mus, yang
disambut gelak tawa Gus Dur.
Melekatnya predikat humoris pada Presiden RI yang keempat itu pun
sempat membuat Presiden Kuba Fidel Alejandro Castro Ruz penasaran. Suatu
ketika, keduanya berkesempatan bertemu.
Seperti yang diceritakan oleh mantan Kepala Protokol Istana Presiden
Wahyu Muryadi pada tayangan televisi, Fidel Castro bertanya kepada Gus
Dur mengenai joke terbarunya.
Dijawablah oleh Gus Dur, “Di Indonesia itu terkenal dengan fenomena
‘gila’,”.
Fidel Castro pun menyimak pernyataan mengagetkan tersebut.
“Presiden pertama dikenal dengan gila wanita. Presiden kedua dikenal
dengan gila harta. Lalu, presiden ketiga dikenal gila teknologi,” tutur
Gus Dur yang kemudian terdiam sejenak.
Fidel Castro pun semakin serius mendengarkan lanjutan cerita.
“Kemudian, kalau presiden yang keempat, ya yang milih itu yang gila,”
celetuk Gus Dur!.
Fidel Castro pun diceritakan terpingkal-pingkal mendengar guyonan
tersebut.
Indonesia Ga Maju-maju?
“saya tahu yang membuat negara kita ini gak maju-maju..
begini… Penduduk kita ini kan totalnya 225juta jiwa.nah, dari jumlah itu
saya punya data yang menyebabkan negara ini gak maju-maju..
Dari 225juta penduduk indonesia, ternyata 112jutanya adalah anak-anak
dan lansia, sehingga penduduk indonesia usia produktif kerja itu
tinggal 113juta.
Dari 113 juta penduduk indonesia usia produktif kerja itu ternyata 12
jutanya adalah PNS pusat yang kerjanya hanya main catur dan
ngobrol-ngobrol, sehingga sisanya tinggal 101 juta, dari jumlah itu
sejumlah 64jutanya adalah PNS daerah yang kerjanya juga mirip dengan PNS
pusat (main catur dan ngobrol-ngobrol).
Sehingga sisanya tinggal 37juta jiwa.
Dari jumlah itu ternyata 32 jutanya adalah mahasiswa dan pelajar yang
tidak bekerja karena kuliah dan belajar.
sehingga sisanya tinggal 5 juta.
Dari jumlah itu ternyata sejumlah 3.435.624 jiwa berada di Lembaga
pemasyarakatan, sehingga sisanya tinggal 1.564.376jiwa.
Dari jumlah itu ternyata sejumlah 1.564.374jiwa berada dirumah sakit.
Sehingga jumlah penduduk indinesia yang bekerja itu hanya tinggal 2
orang.
2 orang itu adalah anda dan saya.. tapi karena anda hanya
ketawa-ketawa saja, jadi penduduk Indonesia yang kerja itu hanya tinggal
satu orang saja… yaitu saya…
pantes, negara kita gak maju-maju…”
Diriwayatkan oleh Sulthan Awliya Quthubul
Ghawts Mawlana Syaikh Muhammad Nazim Adil Al Qubrusi An Naqshabandi Al Haqqani yang
diwakili oleh Mawlana Shaykh Muhammad Hisham Kabbani An
Naqshbandi Al Haqqani Ar Rabbani. Pada suatu hari saat Sayyidina
Rasulullah SAW khobah Jum'at, datanglah seorang Baduy Arab seraya bertanya
kepada Sayyidina Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah SAW, kapankah kiamat itu
datang?”. Sayyidina Rasulullah SAW tidak menjawab, Beliau hanya diam. Baduy
Arab itu terus bertanya sampai 3 kali hingga Sayyidina Jibril a.s datang
menghadap Sayyidina Rasulullah SAW dan berkata, “Tanyakanlah padanya apakah
bekal yang dia bawa untuk menyambut hari kiamat itu?”. Lalu Sayyidina
Rasulullah SAW menyampaikannya dan orang Baduy Arab itu menjawab, “Bukankah aku
memiliki Cinta kepadaMu Ya Rasulullah SAW.” Dan Sayyidina Rasulullah berkata,
“Cukuplah itu membuatmu berdekatan dengan orang yang kau cintai seperti dua
jari yang berdekatan.” Dan seketika itu juga orang Baduy Arab itu pergi tanpa mengikuti
sholat jum'at.
Saat mendengar percakapan itu, Sayyidina Abu Bakar Shiddiq
RA(1) yang selama ini risau akan pertanyaan yang sama, bertanya kepada
Sayyidina Rasulullah SAW, “Ya Sayyidina Rasulullah SAW, apakah cukup hanya
dengan Cinta?”. Kemudian Sayyidina Rasulullah SAW menjawab, “Syarat yang utama
adalah Cinta!”. Mendengar jawaban itu, hati Sayyidina Abu Bakar Shiddiq ra
sangat gembira, begitu bahagia hingga ia mulai berputar dengan jubahnya.
Gerakan memutar inilah yang kemudian dikembangkan oleh Mawlana Jalaluddin Rumi
menjadi Whirling Dervishes.
Lalu tarian ini kembali muncul beberapa abad setelahnya, yang dilakukan oleh
Mawlana Jalaluddin Rumi, seorang sufi yang juga merasakan cinta yang hampir
sama kepada gurunya Mawlana Syamsuddin At-tibrizi, atau Syams-i-Tabriz.
kemudian tarian ini terus dikembangkan oleh Thariqat Mawlawiyah atau Mevlevi,
yang kemudian menjadi seni yang dipetontonkan keseluruh dunia.
Walaupun tarian ini mempunyai makna yang dalam dan esensi spiritual yang
tinggi, namun dewasa ini, tarian ini pun sudah kehilangan maknanya, hanya
menjadi penghias mata belaka. Tetapi karena sejarah dari tarian ini tidak
sembarangan, maka akan selalu indah untuk dilihat. Oleh karena itu kami ingin
mencoba menyingkap rahasia dan hakikat yang sebenarnya dari tarian ini.
Islam adalah agama yang penuh dengan kedamaian. Dibuktikan dengan dari
sekian banyaknya tradisi dan ajaran-ajaran –yang saat ini sudah mulai dilupakan
dan ditinggalkan– salah satunya adalah tarian whirling dervish, tarian yang
dilakukan Atas nama Cinta, Dengan Cinta dan Untuk membawa Cinta.
Tarian Whirling Dervish dapat menarik siapa saja baik yang beragama islam
atau yang tidak beragama islam. Karena Tarian ini memiliki keindahan putarannya
yang dapat menyentuh kalbu lewat sentuhan spiritual yang tersirat di dalamnya.
Di zaman sekarang, dimana islam sudah dianggap agama teroris, dan tidak lagi
dipercaya sebagai agama pembawa kedamaian yang dibawa oleh Sayyidina Rasulullah
Muhammad SAW. Penyelewengan ini memicu kami untuk menyingkap Hakekat dari agama
yang penuh dengan Cinta Kasih ini, lewat berbagai jalan yang mampu membawa
kedamaian dalam hati setiap manusia. Seperti islam yang tidak menyebar lewat
satu jalan, namun banyak jalan, demikian pula dengan seni yang mengatasnamakan
Cinta Illahi.
Nama tarian itu adalah Mevlevi Sema Ceremony atau lebih akrab disebut Sema
(dalam bahasa Arab berarti “mendengar”, atau jika diterapkan dalam
definisi lebih luas adalah bergerak dalam suka cita sambil mendengarkan
nada-nada musik sembari berputar-putar sesuai dengan arah putaran alam
semesta). Di Barat, tarian ini lebih dikenal sebagai “Whirling Dervishes” atau
para Darwis yang berputar, dan digolongkan sebagai divine dance .
Mevlevi Sema Ceremony juga telah dikukuhkan oleh UNESCO
sebagai salah satu karya agung dalam tradisi lisan yang tak ternilai
harganya. Rumi dan Whirling Dervishes: Adalah satu
tarikan nafas , seperti halnya Rumi dan
puisi-puisinya. Goethe menyebut Rumi sebagai The greatest
mystic poet of the world.
Tentang ketokohan Rumi , rasanya tak perlu dibahas lagi.
Jika pengaruhnya masih demikian luas setelah 800 tahun kepergiannya, manusia
ini tentu luar biasa. William Dalrymple menulis bahwa pada saat masyarakat AS
dicekam horror Bin Laden, ternyata buku puisi terlaris sepanjang 90-an bukanlah
karya-karya penulis besar AS semacam Robert Frost, Robert Lowell, tidak juga
karya-karya klasik raksasa Eropa seperti Shakespeare, Homer, Dante; tetapi
justru karya-karya Maulana Jalaluddin Rumi . Sedangkan Rumi
sendiri “hanya” menyebut dirinya sebagai :
I am dust on the path of
Muhammad, the chosen one..
Saat ini nama Rumi dikenal cukup baik di Barat. Bahkan
beberapa komunitas disana telah membentuk semacam perkumpulan Sema,
yang bertemu setiap minggu untuk berdiskusi dan menarikan Whirling
Dervishes . Komunitas ini terdapat di beberapa Negara Eropa
seperti Swiss, Jerman, Belanda, dan AS.
Apakah mereka muslim? Tentu saja ya, karena sebagian besar penari
Whirling beragama islam. Komunitas ini menangkap ajaran Rumi atas
nama kemanusiaan yang berketuhanan dan beragamakan cinta. Sufisme yang
mereka anut menjadi semacam liberal Sufism, bukan dalam konteks ortodoksi &
ortopraksi sufisme Islam. Bagi mereka, Rumi adalah sosok yang
telah membuka mata hati mereka, bahwa manusia dengan seluruh
peradabannya hanyalah setitik debu di hadapan Tuhan.
Senada dengan itu, kalangan Islam liberal juga kerap “mendewakan” Rumi
sebagai sosok pluralis. Mereka mengikuti petuah para pendekar
pluralisme, misalnya John Hick--seorang tokoh pluralisme agama--yang kerap
mengutip kata-kata Rumi : “ Lampu-lampu itu berbeda, tapi
cahayanya sama, datang dari sumber yang sama…”
Terkadang kata-kata dan argumen Rumi dipakai oleh kalangan
Islam liberal untuk menambah hujjah(2)
mereka bahwa pluralisme agama adalah sebuah keniscayaan yang tidak bertentangan
dengan ajaran Islam. Tentu saja hujjah ini dimaksudkan untuk melemahkan posisi
argumen dari mereka yang berseberangan dengan para liberalis.
Sebaliknya, bagi mereka yang agak konservatif (selain pengikut salaf), kerap
menuding cara pandang liberalis telah membajak karya Rumi untuk
kepentingan ideologis mereka. Rumi dengan semua karyanya,
hanya bisa dipahami di atas kerangka Al-Qur'an dan Hadist. Rumi yang
telah dilucuti ke-Islam-annya adalah tak lebih dari Kahlil Gibran.
Samâ' bukanlah sembarang tarian, melainkan tarian yang memuat konsep
spiritual didalamnya. Samâ' bisa dikatakan sebagai sebuah metode intuitif untuk
membimbing setiap Individu untuk membuka jalan jiwanya menuju Tuhan. Ketika
akal pikiran tak sanggup lagi menjangkau Tuhan, maka metode semacam ini
ditempuh. Lewat samâ' , para dervishes atau darwis melakukan perjalanan mistis
spiritual(3) menuju kesempurnaan, untuk meleburkan
jiwanya dengan Tuhan(4). Dengan membuang
segala ego, menghampiri kebenaran hingga tiba di gerbang kesempurnaan.
Setelahnya, mereka kembali lagi sebagai seorang dengan tingkat kesempurnaan
yang meningkat, sehingga mampu menebar cinta kepada seluruh makhluk ciptaan
Tuhan tanpa membedakan keyakinan atau ras.
Dalam bukunya yang berjudul Sufism: A Short Introduction , William C.
Chittick mengatakan bahwa tujuan samâ' adalah memperkuat dzikir(5) kepada Allah seraya mengobarkan api yang
membakar habis segala sesuatu kecuali Dia. Bagi penari samâ' , musik adalah
bahasa rahasia, tanda-tanda Tuhan yang bersinar dan dapat didengar. Ketika
mendengar bahasa rahasia tersebut, jiwa manusia mengingat tempat kediaman
asalnya, yakni hari alastu , ketika Tuhan mengadakan perjanjian dengan Adam dan
keturunannya, dengan mengatakan, “Alastu bi rabbikum?”. “Bukankah Aku
Tuhanmu?”, yang dijawab oleh mereka dengan: “ Ya! kami bersaksi .” (QS. 7:172).
Setidaknya ada tiga unsur penting yang menjadi karakteristik samâ': pikiran,
hati (lewat ekspresi perasaan, puisi dan musik), dan tubuh (dengan menggerakan
kehidupan lewat putaran).
Terdapat rahasia tersembunyi dalam samâ'. Musik dan tari, masing-masing
menyimpan muatan spiritual. Musik yang mengiringi merupakan media untuk
membangkitkan gairah kalbu untuk mengingat Tuhan, yang bisa mengantarkan
manusia ke dalam keadaan dzauk (keadaan dimana manusia merasakan cinta
kepada Allah sedemikian besarnya, sehingga mereka ingin segera bertemu dengan
Allah), kepada asal mereka sendiri dalam ‘ketiadaan'.
Dari sudut pandang sains, segala sesuatu yang ada di alam semesta
ini dibangun dari kumpulan partikel atom. Di dalam atom terdapat elektron yang
berputar mengitari intinya. Jika kita kaitkan, sesungguhnya seluruh benda di
alam semesta ini dalam keadaan berputar. Hakikatnya manusia berputar karena ada
atom di tubuhnya yang berputar menggerakkan sel sehingga darah dapat beredar.
Kehidupan manusia pun berputar melewati beberapa fase. Dari tanah berputar
melewati berbagai fase hidup, akhirnya kembali lagi menuju tanah. Demikian juga
planet-planet berputar mengitari matahari.
Dalam samâ', putaran tubuh mengibaratkan elektron yang bertawaf mengelilingi
intinya menuju sang Maha Kuasa. Harmonisasi perputaran di alam semesta, dari
sel terkecil hingga ke sistem solar, dimaknai sebagai keberadaan Sang Pencipta.
Pikirkan ciptaan-Nya, bersyukur dan berdoalah. “Bertasbih kepada Allah apa yang
ada di langit dan apa yang ada di bumi; hanya Allah lah yang mempunyai semua
kerajaan dan semua pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu .” QS. 64:1.
Asal Tarian
1. Kota Turki
Turki atau Konya adalah kota dimana Mawlana Jalaludin Rumi memulai
ajaran ajarannya. Dan disinilah Thariqat Mawlaw iyah berkembang. Jalaludin Rumi
mendapatkan nama “Rumi” dari kota ini, yang dulunya bernama “Rum” atau “ Rome
”.
Sampai saat ini pun, tarian whirling masih sangat berkembang di Turki. Dan
menjadi salah satu nilai sejarah budaya bangsa mereka.
2. Mawlana Jalaludin Rumi
Samâ', tarian sakral yang pertama kali diajarkan oleh Maulana Jalaluddin
Rumi (1207-1273), sang penyair-sufi agung asal Persia. Samâ’ adalah upacara
atau ritual yang diadakan sebagai pengantar para penari kepada sublimasi antara
makhluk dengan Penciptanya. Upacara ini berisi adab-adab yang masing-masing
mengandung makna.
Tarian mistis yang penuh simbolisme ini pertama kali menginspirasi Rumi
setelah kehilangan guru spiritual yang sangat dicintainya, Syamsuddin Tabrizi.
Ia adalah seorang darwis misterius yang bagaikan magnet mampu menyedot seluruh
perhatian Rumi, hingga orientasi spiritual Rumi berubah secara dramatis, dari
seorang teolog dialektis menjadi seorang penyair-sufi. Kemisteriusan Syams
membuat putera Rumi menyepadankannya dengan Khidr(6).
Dikisahkan di suatu pagi, seorang pandai besi yang juga darwis bernama
Shalahuddin Faridun Zarkub menempa besinya. Pukulan itu kontan membuat Rumi
menari hingga mencapai keadaan ekstase. Lalu secara spontan dari mulut
Rumi mengalir ujaran-ujaran mistis dalam bentuk puisi.
Selanjutnya, Shalahuddin dijadikan Rumi sebagai khalifah
(wakil) untuk menggantikan posisi Syams, tempat ia mencurahkan gagasan dan
perasaannya. Setelah melembaga, tarian ini sering dilakukan Rumi selepas
shalat Isya di jalanan kota Konya, diikuti para darwis lainnya. Acara terakhir
biasanya ditutup dengan pembacaan ayat suci Al-Quran.
Bagi Rumi menari adalah Cinta. Dan Rumi tak
berhenti menari karena ia tak pernah berhenti mencintai Tuhan. Hingga tiba
saatnya di suatu senja 17 Desember 1273, ia dipanggil Sang Maha Kuasa dalam
keadaan diliputi Cinta Ilahi.
Setelah wafatnya Rumi , tarekat Maulawiyah (beserta ritual
samâ'-nya) berlanjut terus di bawah pimpinan Syaikh Husamuddin Hasan bin
Muhammad, salah seorang sahabat karibnya, yang juga dijadikan Rumi sebagai
khalifah setelah kepergian Shalahuddin. Husamuddin adalah orang yang memberinya
dorongan dan inspirasi sehingga lahirlah sebuah karya yang menjadi magnum opus Rumi
, yakni Matsnâwî . Kitab ini terdiri dari enam jilid dan berisi 25.000
untaian bait bersajak.
“Jika kau menulis sebuah buku seperti Ilahiname milik Sana'i atau Mantiq
at-Thayr milik Fariduddin Attar, niscaya akan menarik minat sekumpulan penyanyi
keliling. Mereka akan mengisi hatinya dengan apa yang kau tulis dan musik akan
digubah untuk mengiringinya”, demikian saran Husamuddin kepada Rumi di
sebuah kebun anggur Meram di luar Konya . Bersama Husamuddin lah Matsnâwî
tercipta. Sehingga karya monumental ini dikenal pula dengan sebutan Kitab-i
Husam (Bukunya Husam).
Terpesona dengan kandungan dari karya tersebut, seorang orientalis Inggris
bernama R.A Nicholson –yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk mengkaji
karya Rumi– mengatakan, Matsnâwî adalah sungai besar yang tenang dan dalam,
mengalir melalui banyak dataran yang kaya dan beragam menuju samudera tak
bertepi. Matsnâwî di mata para pengikut Rumi dianggap sebagai uraian makna
batin Al-Quran. Sementara Abdurahman Jami –penyair asal Persia– menyebutnya
“Al-Quran dalam bahasa Persia.”
Dan bab ke tiga Matsnâwî berisi tentang kefanaan dalam samâ' . “Tatkala
gendang ditabuh, serta merta sebuah rasa ekstase merasuk laksana buih yang
meleleh dari debur sang ombak.”, begitu senandung Rumi.
Setelah Husamuddin wafat, tarekat Maulawiyah berlanjut di bawah kepemimpinan
putera tertua Rumi, Sultan Walad. Di tangan puteranyalah tarekat ini
terorganisir dengan baik, hingga ajaran ayahnya tersebut menyebar ke seluruh
penjuru negeri.
Tarekat Maulawiyah di Barat lebih dikenal dengan sebutan ‘The Whirling
Dervishes' (darwis-darwis yang berputar), mengambil nama dari ciri utama
tarekat ini. Selain di Eropa, kini tarekat Maulawiyah sudah merambat ke dataran
Amerika hingga ke benua Asia.
Sekian abad lamanya pertunjukan samâ' menarik perhatian para pengembara
spiritual, hingga lahir catatan-catatan penting tentangnya. Dalam bukunya yang
berjudul Islamic Art and Spirituality , Seyyed Hossein Nasr mengatakan bahwa
samâ' diawali dengan nostalgia tentang Tuhan, berlanjut dengan keterbukaan
sedikit demi sedikit terhadap limpahan karunia dari surga, setelah itu
mengalami keadaan ekstase ( fana' ), lebur bersama Al-Haqq(7).
Rumi menyebut samâ' sebagai simbolisme kosmos, sebuah misteri yang sedang
menari. Putaran tubuh adalah tiruan alam raya, seperti planet-planet yang
berputar. Posisi tangan yang membentang secara simbolik menunjukkan bahwa
hidayah Allah diterima oleh telapak tangan kanan yang terbuka ke atas, lalu
disebarkan ke seluruh makhluk oleh tangan kiri. Ini merepresentasikan sebuah
penyerahan dan penyatuan dengan Tuhan.
Teknik Tarian
Setiap atom menari di darat atau di udara Sadari baik-baik, seperti kita, ia berputar-putar tanpa henti di sana Setiap atom, entah itu bahagia atau sedih, Putaran matahari adalah ekstase yang tak terperikan
Shalawat disenandungkan, gendang mulai bertabuh, seruling ney mulai ditiup.
Sekelompok darwis mengenakan atribut yang seragam. Topi yang memanjang ke atas,
jubah hitam besar, baju putih yang melebar di bagian bawahnya seperti rok,
serta tanpa alas kaki. Mereka membungkukkan badan tanda hormat lalu mulai
melepas jubah hitamnya. Posisi tangan mereka menempel di dada, bersilang mencengkram
bahu. Di tengah-tengah mereka tampak seorang Syaikh, yang berperan sebagai
pemimpin. Jubah hitam tetap ia kenakan. Ia maju mengambil tempat. Kini giliran
syaikh tersebut membungkukkan badannya pada darwis lainnya, mereka pun balas
menghormat.
Sekelompok darwis itu kemudian membentuk barisan. Satu per satu maju.
Setelah sang pemimpin memberi restu, maka ritual pun dimulai.
Tangan-tangan masih menyilang di bahu. Kaki-kaki yang telanjang mulai
merapat. Lalu dimulailah gerakan berputar yang lambat, dengan tumit kaki
dijadikan sebagai tumpuan secara bergantian, sementara kaki yang satunya
sebagai pemutar. Perlahan-lahan tangan dilepas dari bahu dan mulai terangkat.
Gerakan tangan yang anggun itu berangsur membentuk posisi horizontal. Telapak
tangan kanan menghadap ke atas, yang kiri ke bawah.
Semakin lama gerakan semakin cepat, selaras dengan ketukan irama yang
mengiringinya. Mata-mata itu nampak semakin sayu, sebagian terpejam. Kepala
mereka semakin condong ke salah satu pundaknya. Semakin cepat putaran, rok-rok
putih yang mereka kenakan semakin mengembang sempurna laksana payung yang
terbuka. Orang-orang itu semakin larut. Suasana magis seolah tercipta.
Gendang belum berhenti bertabuh, ney(8)
masih mengalun syahdu. Tanpa isyarat dari sang pemimpin ritual untuk berhenti,
mereka akan terus melambung dalam keadaan ekstase.
Posisi tangan yang membentang secara simbolik menunjukkan bahwa hidayah
Allah diterima oleh telapak tangan kanan yang terbuka ke atas, lalu disebarkan
ke seluruh makhluk oleh tangan kiri. Ini merepresentasikan sebuah penyerahan
dan penyatuan dengan Tuhan.
Atribut yang dikenakan juga merupakan metafora yang menyimpan makna. Topi
Maulawi –yang biasanya berwarna merah atau abu-abu– melambangkan batu nisan
ego, jubah hitam sebagai simbol alam kubur yang ketika dilepaskan melambangkan
kelahiran kembali menuju kebenaran, baju putih adalah kain kafan yang
membungkus ego, dan ney melambangkan jiwa yang dinafikan dari diri, digantikan
dengan Jiwa Ilahi. Seruling buluh ini juga melambangkan terompet yang ditiupkan
malaikat di hari kebangkitan untuk menghidupkan kembali orang yang mati. Karpet
merah yang biasa diduduki oleh sang syaikh melambangkan keindahan matahari dan
langit senja, yang waktu itu menghiasi kepergian Rumi untuk selamanya.
Samâ' bukanlah sembarang tarian, melainkan tarian yang memuat konsep
spiritual didalamnya. Samâ' bisa dikatakan sebagai sebuah metode intuitif untuk
membimbing setiap Individu untuk membuka jalan jiwanya menuju Tuhan. Ketika
akal pikiran tak sanggup lagi menjangkau Tuhan, maka metode semacam ini
ditempuh.
Dalam samâ', putaran tubuh mengibaratkan elektron yang bertawaf mengelilingi
intinya menuju sang Maha Kuasa. Harmonisasi perputaran di alam semesta, dari
sel terkecil hingga ke sistem solar, dimaknai sebagai keberadaan Sang Pencipta.
Pikirkan ciptaan-Nya, bersyukur dan berdoalah. “Bertasbih kepada Allah
apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi; hanya Allah lah yang mempunyai
semua kerajaan dan semua pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu .” QS.
64:1.
Akhirnya kita saksikan sang pemimpin mulai berdiri. Tabuhan gendang
terdengar dipercepat, seiring itu putaran tubuh pun semakin kencang. Kemudian
syaikh itu memberikan isyarat untuk berhenti. Seketika itu musik dan para
penari pun berhenti. Dan pertunjukan pun berakhir. Tanpa tepuk tangan, karena
samâ' bukanlah sebuah pagelaran seni.
Dengan berputarnya tubuh yang berlawanan dengan arah jarum jam, para penari
merangkul kemanusiaan dengan cinta. Manusia diciptakan dengan Cinta untuk
mencinta. “Semua cinta adalah jembatan menuju Cinta. Siapa saja yang
tak merasakannya tak akan tahu,” demikian kata Rumi .
Makam Rumi di Konya dikelola oleh pemerintah Turki sebagai
obyek wisata. Setiap tahunnya, terutama antara tanggal 2-17 Desember, ribuan
peziarah dari delapan penjuru mata angin berkunjung, menyaksikan para pengikut
Maulawi berputar untuk memperingati “malam penyatuan”, malam di mana sang guru
tercinta wafat.
Mausoleum Konya menyimpan kenangan. Saksi bisu sejarah tatkala ujaran sang
penyair agung mengisi lembar peradaban luhur Islam melalui karya estetisnya,
menjadi sumber inspirasi yang membakar jiwa para pecinta di segenap penjuru
dunia.
Seperti gelombang di atas putaran
kepalaku, maka dalam tarian suci Kau dan aku pun berputar Menarilah, Oh Pujaan Hati, jadilah lingkaran putaran Terbakarlah dalam nyala api-bukan dalam nyala lilin-Nya
Rumi
Dengan berputarnya tubuh yang berlawanan dengan arah jarum jam, para penari
merangkul kemanusiaan dengan cinta.
Bahwa Tuhan menciptakan dan memberikan Cinta itu menjadi sebuah inti dari
semua cinta, yang dapat menghilangkan semua batasan (batasan baik itu agama,
budaya, ataupun ras). Di antara semua makhlukNya. Sehingga mereka dapat
mencintai semua mahkluk manusia, dan mencintai mahkluk yang lain. Dan itu dapat
menjadi sebuah obat untuk menyembuhkan penyakit individualis dan egoism dalam
diri manusia.
Dan Rumi telah menterjemahkan itu
semua dalam kesempurnaan bentuk, baik secara ucapan dalam bentuk puisi dan
tarian Sema dalam putaran jasad. Untuk dirinya merasakan cinta itu, dan
membagikan cinta itu kepada makhluknya.
Perlu disampaikan, bahwa penjelasan
ini tidak bermaksud mengajak pembaca untuk menari di hadapan Tuhan, apalagi
menganggapnya sebagai ritual yang sejajar dengan shalat, puasa, haji, dan
sebagainya. Cerita Cinta ini sekadar untuk memperkenalkan khazanah keislaman
yang dibawa oleh seorang Mawlana Jalaluddin Rumi, yang masyhur bukan saja di
Timur, tapi juga di Barat.
Terlepas dari keberatan sebagian
ulama fikih yang memandang musik dan tarian sebagai sesuatu yang diharamkan
secara syariat, jalan spiritual melalui tasawuf –yang notabene sering
menggunakan musik dan tarian sebagai media– telah memberikan sumbangan yang
sangat berarti bagi peradaban Islam. Terlebih, dalam prakteknya tasawuf mampu
memainkan peranan sebagai obat bagi penyakit spiritual yang dilanda manusia
modern yang semakin teralienasi dari poros eksistensi.