SELAMAT DATANG DI IPANG'S BLOG

SEMOGA MENEMUKAN YANG ANDA BUTUHKAN
TERIMA KASIH TELAH BERKENAN MENGUNJUNGI BLOG INI

Sabtu, 10 September 2011

DILARANG BERBEDA !


DILARANG BERBEDA !

Oleh : Iip Saripudin

            Putih merupakan simbol dari kesucian, kemurnian serta ketulusan, sehingga dapat diartikan bahwa putih berarti suci atau bersih tiada noda. Kata putih banyak dipergunakan para ahli bahasa dan juga seniman untuk mengungkapkan keindahan serta ketulusan. Bahkan para remaja yang sedang kasmaran tak jarang menggunakan kata putih untuk mengungkapkan bahasa kalbunya. Tapi jangan merangkaikan kata putih dengan satu kata lainnya sehingga membuahkan kalimat yang hasilnya dapat menimbulkan masalah. Meski kedengarannya kalimat itu tidak rancu, tapi dapat menimbulkan “kerancuan”. Mengapa begitu?.
Jawabannya adalah karena kalimat itu akan menggiring pada suatu keadaan yang tidak diharapkan sebagian pihak lainnya sehingga memicu situasi pada suatu kondisi yang kurang atau tidak kondusif.
Satu kata lainnya yang dimaksud untuk disandingkan dengan kata putih ini adalah kata golongan, sehingga jika kedua kata tersebut digabungkan akan membuahkan kalimat “golongan putih”. Anda boleh tidak bersepakat dengan jawaban tersebut, karena memang masih banyak kata lainnya yang dapat disandingkan dengan kata putih ini, diantaranya yaitu kata “kerah”, sehingga jika dua kata tersebut digabungkan akan menghasilkan kalimat “kerah putih”.


            Tak ada lagu yang tak indah, tapi sebagian pihak beranggapan ada lagu yang tak indah atau tak enak untuk didengar, karena semerdu apapun sipelantun lagu membawakannya tetap saja terdengar sumbang.
Lagu itu berjudul golongan putih, karya anak negeri yang terdzalimi. Anda boleh saja melantunkan lagu itu, tapi janganlah secara terbuka dan terang-terangan, karena bukan hal yang tidak mungkin akan menyuguhkan kekisruhan. Sebaiknya lagu itu cukup dilantunkan di kamar mandi, dan biar orang rumah saja yang mendengarnya. Mengapa demikian?. 
Kita boleh berbeda, tapi beda yang ini lain, karena ada rambu-rambu yang tidak menghendaki  hal  itu  terjadi, meski  tak  harus  membuat  sepanduk  dengan ukuran besar bertuliskan “DILARANG BERBEDA !”, atau dilarang bernyanyi lagu beda.
Anda tidak akan dilarang untuk menanyakan hal tersebut kepada para ahli dibidangnya, dan anda tak akan dikenakan sanksi untuk sekaligus mempertanyakan, apakah hal itu merupakan bagian dari hak anda dalam berdemokrasi, ataukah hal itu merupakan pengecualian dalam hidup berdemokrasi.
            Apa yang kita lihat tak seperti yang kita harapkan, dan apa yang kita harapkan mungkin tak seperti yang kita inginkan. Seperti kisah atau cerita isteri Nabi Ibrahim As ketika melihat hamparan air di gurun pasir yang ternyata hanya fatamorgana. Harapan telah terpenuhi dengan terlihatnya air, tetapi harapan tidak terlengkapi karena kenyataan tidak seperti yang diinginkan.
Diibaratkan berkerumunnya orang dalam suatu hajatan rakyat, apa yang terlihat mungkin saja sama seperti cerita isteri Nabi Ibrahim As ketika melihat hamparan air di gurun pasir yang ternyata hanya fatamorgana. “Ada tapi tidak ada”, dan peristiwa itu biasanya disambut para hadirin dengan teriakan huu….!!, atau heuu….!!.
Mungkin hal tersebut tak perlu dijelaskan, tapi jika anda merasa itu perlu, tak ada salahnya untuk dijelaskan, dan penjelasannya sederhana saja. Kalimat ada tapi tidak ada sama dengan memilih untuk tidak memilih atau sama dengan memilih tapi sebenarnya tidak memilih.
Pertanyaannya adalah :
1. Adakah peraturan atau hukum yang mengatur tentang tindakan tersebut?
2. Sudah adakah orang yang dikenakan sanksi hukum karena tindakan tersebut?
Jika saja peristiwa tersebut diatas dibalik sehingga menghasilkan kalimat “tidak ada tapi ada”, mungkin persoalannya akan lain. (apakah anda dapat membantu mencarikan kata atau ungkapan lain untuk hal seperti itu?).
Semoga anda akan bersepakat untuk kasus seperti itu sebaiknya dibicarakan dan dibahas ditempat yang telah disediakan. Mungkin para jaksa atau hakim dapat memberikan kalimat yang tepat untuk mengganti kalimat dimaksud.

            Kenyataan telah mengatakan bahwa tak selamanya putih itu suci atau bersih. Ia harus rela dikorbankan untuk dijadikan simbol kekecewaan serta ketidakadilan.
Golongan putih bukanlah organisasi masyarakat (Ormas) atau organisasi sosial politik (Orsospol), bukan pula lembaga Sosial keMasyarakatan (LSM), karena tidak memiliki Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART). Namun keberadaannya akan selalu menghiasi perpolitikan di negeri ini sebagai manifestasi dari rasa kecewa, ketidakpercayaan serta ketidakadilan. Dan anda boleh tidak bersepakat dengan pernyataan tersebut.
Namun kenyataan telah mengatakan bahwa golongan putih merupakan stempel dari kekecewaan, ketidakpuasan serta ketidakadilan yang dirasakan oleh satu atau kelompok orang dalam proses berdemokrasi.
            Tidak ada larangan untuk berbeda, karena anda berhak untuk itu. Dan anda juga tak dilarang untuk meneriakkan perbedaan asalkan jelas alasannya, agar argumentasi anda tidak mudah dibantahkan. Tapi ingat satu hal, bahwa dalam realitas kehidupan berdemokrasi di negeri ini, kenyataannya ada pengecualian untuk meneriakkan perbedaan.
            Mungkin kita telah mengenal rangkaian kata “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Tetapi apakah kita sebagai warga negara telah dapat dengan tepat memanifestasikan sila ke empat dari Pancasila yang merupakan salah satu pilar hidup dalam berdemokrasi?. Bagaimana anda menjabarkan atau mengejawantahkan sila tersebut dalam kehidupan berdemokrasi sehingga sesuai dengan substansinya.
Maka dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, bagi mereka yang telah mengerti persoalan ini secara mendalam, kiranya dapat secara bijak menyikapi berbagai persoalan yang timbul serta memandang peristiwa yang terjadi sepanjang perjalanan sejarah bangsa ini, tak lebih hanyalah suatu proses pendewasaan dalam rangka menciptakan iklim kehidupan masyarakat yang lebih baik, yang  mencerminkan rasa kemanusiaan, persatuan dan keadilan bagi segenap rakyat, sehingga keberadaannya dapat teruji secara mikro maupun makro untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa di mata dunia. Hehe…..

Satu-satu daun berguguran
jatuh kebumi dimakan usia,
tak terdengar tangis tak terdengar tawa,
redalah reda.
Satu-satu tunas muda bersemi
mengisi hidup gantikan yang tua,
tak terdengar tangis tak terdengar tawa, redalah reda.

Kalimat-kalimat diatas adalah syair lagu yang dinyanyikan seniman negeri ini. Menurutku lagu tersebut berusaha mengabarkan realita dalam siklus kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Akan dibawa ke arah mana generasimu agar masa depan bangsa ini berkilau terang, sehingga para pendiri serta pejuang bangsa dapat tersenyum bangga dan berkata “Inilah Indonesiaku”.
Tunjukkan pada dunia bahwa generasimu akan mampu menghalau badai yang datang memporak porandakan moral bagsa ini. Dan buktikan pada rakyatmu bahwa kau percaya pada generasimu untuk melanjutkan cita-cita perjuangan bangsa ini, dengan segenap kesungguhan serta keikhlasanmu. Kepercayaanmu adalah kunci  untuk membuka gerbang sehingga dapat memasuki ruang untuk mengisi kemerdekaan ini.
Mengalirlah seperti air, dan berhembuslah seperti angin dalam menelusuri dimensi ruang sehingga dapat menemukan apa yang kita cari selama ini.

Sukabumi - Jawa Barat – Indonesia,    Januari 2008   

LABENSRUM


LABENSRUM

Oleh : Iip Saripudin


            Berwarnanya hidup memberikan arti tersendiri bagi laju kehidupan. Berjuta makna mengalir menelusuri sungai menuju muara, menyatu di samudera kehidupan. Derai tawa dan air mata menyapa senja di tepian malam, diantara tunas-tunas muda yang kian menggeliat menanti giliran berkata-kata, setelah lelah terbaring di pangkuan malam. Sementara hasrat berharap benak terkuak, menyiratkan makna untaian kata sederhana dapat dicerna dengan bijak tanpa prahara.  
            Menyadari sepenuhnya, bahwa setiap keterbatasan itu akan menyimpan pertanyaan, memohon jawaban.   
Harus kita sadari sepenuhnya, bahwa setiap kita mempunyai keterbatasan dalam segala hal. Namun hasrat yang tersimpan tak harus selamanya terbenam dan mengendap dalam jiwa dan pikiran lalu menggumpal dalam otak, bergejolak didasar hati sehingga suatu saat akan menimbulkan berbagai reaksi tak berkesudahan sebagai respon yang tertunda. Dan disstu sisi keinginan seakan menjadi suatu keharusan untuk secepatnya terwujudkan dalam kenyataan sehingga tak hanya membuahkan angan-angan saja. Tapi akal sehatpun bicara, menyikapi angan-angan itu, untuk berharap bahwa ini bukanlah hal premature yang kemudian hari menjadi perdebatan panjang dengan resiko yang tak pernah kita perkirakan sebelumnya.
Ongkos politiknya terlalu mahal bung!, berpa banyak yang harus dikorbankan demi untuk memaksakan suatu kehendak dengan pertimbangan yang dangkal. Begitu sang politikus berkata tatkala sebuah wacana ditawarkan untuk segera digulirkan dan berharap mengkristal serta mengerucut pada sasaran yang diinginkan.
            Setiap kata yang terucap berharap adalah suatu makna dari realitas kehidupan dimana kita berpijak dan bernapas, serta dapat memberikan sebuah arti bagi keberlangsungan hidup setiap yang senantiasa penuh warna, dimana kejujuran merupakan harapan yang tak ternilai harganya, dan hamper sulit untuk mendapatkannya hingga hari ini. Bukan karena suatu ajaran membenarkan ketidakjujuran tidak diharamkan untuk suatu kebaikan, tapi karena terlalu banyak kepentingan didalamnya yang memaksa kejujuran itu harus tersimpan.
Namun sikap pembodohan terhadap suatu kenyataan hidup merupakan bentuk lain dari penjajahan yang bertentangan dengan landasan hidup bangsa serta membelenggu ideologi sikap otak dan kreativitas juga aktivitas setiap makhluk yang berkeinginan untuk berbuat sesuatu menuju arah masa depan bangsa yang bermartabat lebih tinggi dimata dunia tanpa menghilangkan norma-norma dan etika dalam kehidupan dibumi ini.
            Kebersamaan dalam menuangkan pola pikir berharap menjadi satu keharusan yang tak dapat ditawar-tawar lagi, untuk menyamakan persepsi tentang suatu langkah kedepan dengan terobosan-terobosan dalam menyelesaikan berbagai persoalan sehingga dapat membuat perubahan keadaan menuju arah yang lebih baik serta berguna bagi makhluk hidup di bumi ini.
            Secercah harapan berawal dari sini, ditempat kita tegak berdiri, dimana kita dapat mengatakan juga mengabarkan realita kehidupan yang sesungguhnya tengah terjadi. Perubahan menuju arah yang lebih baik dapat kita mulai dengan memperhatikan dan mengabarkan realita yang sesungguhnya terjadi disekitar kita bernaung dan membenahi diri dengan bekal kepercayaan diri serta adanya keberanian mengatakan apa yang seharusnya kita katakan, tanpa harus menutup diri, karena hari ini banyak cara untuk mengungkapkan apa yang terjadi dan kita rasakan dengan hak perlindungan atas apa yang kita katakan dan rasakan, apapun bentuk pengungkapannya.
            Lakukan apa yang harus dilakukan, karena ini merupakan awal dari bentuk kepedulian, yang tercermin dalam pranata kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan rasa peduli terhadap diri sendiri, untuk kemudian tumbuh dan berkembang menjadi suatu kepedulian terhadap sesuatu yang lebih luas.
Jangan biarkan sikap pembodohan terus merajalela dengan leluasa diantara kita, jangan biarkan penyakit menahun menyerang kita, karena itu akan menghambat laju keinginan tentang suatu harapan lalu membunuh kreativitas secara perlahan namun pasti.
            Regenerasi harus segera dilakukan dengan pembinaan pola pikir serta pengembangan ilmu pengetahuan dan  wawasan disegala bidang, sebagai bekal menuju suatu harapan dimasa depan dengan persiapan matang yang tak mudah dimentahkan, karena kompetisi dalam kehidupan akan terus bergulir dengan konsekwensi dan resiko yang akan ditempuh dalam bentuk apapun.
Dan dipojok-pojok sana para aktivis berkumpul, mendesain cita-cita demi merealisasikan harapannya agar sesuai dengan apa yang diinginkan.
Sementara ditengah-tengah keramaian kota segelintir orang berpesta pora merayakan kemenangan atas hasil rampokan yang dilakukannya disiang bolong kemarin sore.
Pernyataan sikap bukanlah sesuatu yang sakral untuk segera disikapi lalu ditindaklanjuti, karena ada suatu proses dalam mempertimbangkan keputusan sehingga menghasilkan kata akhir.
            Manusia mempunyai hasrat dan keinginan yang bervariasi dalam berbagai hal, meskipun tak jarang juga yang mempunyai kesamaan atau kemiripan dalam menyikapi permasalahan. Perbedaan pemikiran merupakan anugerah tak terhingga yang sepatutnya kita sikapi dengan bijaksana, sehingga perbedaan tersebut menuntun arah menuju penyelesaian permasalahan.
Pemikiran yang besar tidak lahir begitu saja, namun melalui suatu proses yang tumbuh dengan pengaruh lingkungan, religi, tradisi dan budaya serta berbagai peristiwa sejarah, tafakur, perenungan diri maupun nuansa pergolakan batin yang dirasakan.
Tidaklah heran jika hari ini atau suatu hari nanti hadir ditengah-tengah kita pemikiran-pemikiran jenius sehingga memunculkan perspektif yang belum pernah ada sebelumnya, meski tak mudah untuk dapat menerimanya dalam realitas kehidupan yang majemuk.
Perbedaan pandangan bukanlah hal aneh yang senantiasa kita jumpai dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dalam bingkai ideologi yang menimbulkan perhelatan tiada henti untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan serta dapat menjadi landasan bagi keberlangsungan hidup dalam sosial kemasyarakatan.
Sepantasnyalah pemikiran-pemikiran yang mengarah pada suatu pembaharuan tidak dipandang   negatif   sehingga   tidak   menimbulkan   kecurigaan - kecurigaan  yang berdampak pada pengkerdilan hak manusia untuk bicara dan berpendapat serta mengembangkan pemikirannya untuk suatu perubahan keadaan.
            Seperti kisah seorang pelayan yang biasa menyuguhkan makanan dalam pertemuan keramat di sebuah istana raja, yang memberikan perspektif terhadap persoalan yang dihadapi tuan-tuannya ketika terjadi perbedaan pendapat tentang suatu hal yang dihadapinya.
Begini kisahnya, hehe…….. :

            Suatu hari di dalam pertemuan keramat berkumpullah para petinggi-petinggi istana. Semua hadirin tampak serius memperhatikan apa yang diutarakan seorang petinggi istana berkacamata hitam.
“Hari ini kita berkumpul untuk yang kesekian kalinya, dan masih saja mempersoalkan hidangan yang tersedia dimeja ini. Masakan ini telah diramu berpuluh-puluh tahun, bahkan mungkin berabad-abad lalu oleh para pendahulu kita, untuk tetap dipertahankan cita rasa khasnya yang sesuai dengan selera khalayak ramai. Untuk apalagi harus diperdebatkan?. Bukankah kita dalam keadaan sadar betul ketika menikmati masakan ini, dan tidak sedang bermimpi”.
Seorang petinggi berdasi mengomentari atas apa yang telah dikemukakan temannya itu.
“Masakan ini terasa tidak pas dilidahku. Aku tak begitu menikmatinya, dan aku mengharapkan rasa yang lainnya. Karena masakan ini dirasakan tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap metabolisme tubuhku, sehingga bibirku terasa kaku untuk berucap kata. Setiap kalimat yang kuucapkan seakan rancu jika harus mengatakan bahwa masakan ini sedap untuk dinikmati. Dan aku tak ingin membohongi diriku sendiri. Aku harus jujur mengakui bahwa sesungguhnya aku kecewa dengan rasa dari masakan ini, karena aku menyukai masakan yang manisnya lebih terasa”.
Seorang petinggi lain dengan rompi ditubuhnya tak tinggal diam mendengar apa yang dikatakan rekannya.
“Mungkin rasa yang kau inginkan terasa baik bagi anda, tetapi tidak bagiku!. Karena aku cenderung lebih menikmati masakan yang rasa garamnya terasa, sehingga lebih dapat memberikan kehangatan bagiku”. Ia berucap dengan penuh semangat.
Petinggi bertopi hitam yang duduk dihadapan lelaki tadi, dengan cepat mengomentari apa yang dikatakannya.
“Tidak!. Aku sangat menyukai masakan beraroma pedas, dengan rasa garam dan manisnya yang setiap saat dapat mengundang selera, serta membangkitkan semangat hidup ini”.
Petinggi dengan balutan jaket ditubuhnya tertegun sejenak mendengarkan apa yang diungkapkan rekannya. Dengan didahului tarikan nafas panjang ia berkata.
“Kalian boleh saja berpendapat demikian. Tapi aku mengharapkan kombinasi rasa yang lain, karena aku menggemari masakan dengan rasa manis bercampur asam dengan sedikit rasa pedas. Hangatnya akan lebih terasa mengundang selera”.
Begitu dasyatnya perdebatan para petinggi istana itu, sehingga harus mengorbankan waktu serta menguras tenaga dan pikiran, bahkan nyawa sekalipun untuk menemukan jalan penyelesaiannya.
Ditengah-tengah perdebatan yang sengit, seorang pelayan datang menyuguhkan air hangat yang dibawanya dari dapur setelah dipanaskan oleh juru masak istana. Dengan nada pelan pelayan istana berucap.
“Maaf  tuan-tuan. Saya hanya sekedar mengingatkan, jika hari ini adalah hari jum’at”. Setelah berkata demikian pelayanpun bergegas pergi.
Para petinggi saling berpandangan satu dengan lainnya demi mendengar perkataan dari sang pelayan istana. Tak lama kemudian mereka bersepakat untuk menunda pembahasan hingga waktu yang telah ditetapkan. 


Setelah rehat beberapa saat lamanya, pembahasanpun dilanjutkan kembali. Perdebatan pun semakin tajam. Masing-masing beradu argumentasi untuk mempertahankan apa yang diyakininya. Sementara dari dalam istana, dengan langkah tergopoh-gopoh seorang pelayan datang menghampiri para petinggi. Dihadapan para petinggi pelayanpun berucap dengan santun.
“Maaf tuan-tuan, saya hanya sekedar mengingatkan bahwa, disana ada beberapa wajan berukuran sedang. Jika tuan-tuan berkenan, saya akan memohon kepada juru masak istana untuk menuangkan masakan dari wajan besar yang tuan-tuan bicarakan hingga detik ini kedalam wajan – wajan  yang  tersedia.  Mungkin  dengan  demikian tuan-tuan dapat mengolah kembali masakannya. Apakah bahan masakannya ditambah atau dikurang, sehingga dapat memberikan rasa yang sesuai selera tuan-tuan. Biarlah wajan besar itu berisi olahan makanan dari bahan-bahan masakan, serta rempah-rempah dengan cita rasa khas yang tak dimiliki istana lain  yang telah sekian lama dijaga keasliannya. Kemudian apabila tuan-tuan berharap lain, maka tuan-tuan sekalian dapat menuangkan masakan tersebut kedalam wajan-wajan kecil ditempat tuan-tuan berada, sehingga rakyat banyak dapat mencicipinya. Namun jangan tersinggung jika rakyat dimana tuan-tuan berada berkomentar lain atas masakan yang ditawarkan. Karena bukan hal yang tidak mungkin rakyat masih menginginkan cita rasa masakan yang bersumber dari wajan besar warisan nenek moyang”.
Selesai berbicara pelayanpun berlalu dari hadapan para petinggi tersebut.
Para petinggi istana tertegun sejenak setelah mendengar kata-kata yang disampaikan pelayan. Suasana hening sejenak. Hanya sesekali terdengar helaan nafas panjang para petinggi istana dalam ruang pertemuan keramat itu. Mereka saling berpandangan dengan kerutan dikeningnya.


            Kisah tersebut berharap dapat memberikan Perspektivitas bagi keberlangsungan hidup bermasyarakat dialam demokrasi ini. Dimana setiap manusia memiliki keragaman pemikiran, meski terkadang tak mudah dicerna untuk diejawantahkan dalam realitas kehidupan. Apa yang menjadi dasar-dasar  pemikirannya, sudah sesuaikah dengan substansinya. Diantara satu dengan lainnya cenderung terciptakan suatu kondisi yang kompetitif disertai berbagai liku didalamnya. Namun demikian, demokrasi mengisyaratkan untuk memberikan Labensrum terhadap setiap warga negara yang berserikat atau berkumpul, demi mewujudkan cita-cita yang di harapkannya. Dan semoga cita-cita tersebut dapat memberikan perubahan bagi kemajuan bersama.
Sifat dasar yang timbul dalam kondisi saling mempengaruhi seringkali terjadi karena suatu alasan mendasar yang diyakini dapat memberikan perspektivitas terhadap keadaan yang dicita-citakan, sehingga mengarah pada tuntutan pembuktian atas peristiwa yang terjadi berdasarkan fakta-fakta yang ada. Namun secara naluriah, pemikiran-pemikiran yang muncul atas ide atau gagasan orang lain akan menimbulkan perdebatan, serta perhelatan  yang  seakan   tiada  henti.  Tapi   tentunya  semua  itu  diharapkan  untuk menuju pada suatu kesimpulan, serta berkesepakatan dan berkesepahaman sehingga tidak terjadi kontradiksio interminis.
            Berdasarkan pengalaman hidup suatu bangsa serta perjalanan sejarah kemanusiaan,  telah mendokumentasikan berbagai peristiwa yang menorehkan luka sangat mendalam akibat dari perselisihan yang mengarah dan mendorong pada suatu tindakan anarkis tak terkendali, diiringi sikap provokatif dari pihak-pihak tak bertanggungjawab yang memanfaatkan situasi serta mencuri kesempatan,  dengan mengharapkan kondisi menjadi tidak menentu. Sehingga akhirnya terjadi pertumpahan darah serta pengebirian hak-hak manusia dalam berbagai hal. Memang tak mudah untuk menyamakan persepsi, karena harus dapat menerima segala konsekwensinya, meskipun proses argumentasi telah dilakukan, disertai berbagai faktor penunjang lainnya. Apabila tidak menemui kata sepakat,  maka akan terdapat hambatan-hambatan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung untuk merealisasikannya.
            Sepakat untuk bersepakat, atau sepakat untuk tidak bersepakat hanyalah fenomena yang seharusnya menyadarkan semua pihak, bahwa diantara kita akan selalu terdapat perbedaan meskipun tak begitu mendasar, sehingga tak dapat memaksakan kehendaknya sendiri. Namun demikian bukanlah berarti kebebasan berbeda pendapat menjadi suatu alasan untuk berbuat sesuatu tanpa alasan jelas, yang pada akhirnya akan mengorbankan hajat hidup orang banyak, yang timbul karena kebebasan itu.


Jangan biarkan rakyat terbelenggu dalam ketidaktahuan tentang apa yang tengah terjadi kini, dan jangan biarkan rakyat terpasung dalam rasa ketakutan, sehingga terpojokkan dengan menanggung beban yang tak seharusnya mereka pikul karena ketidaktahuan serta ketakutannya.
Diantara generasi bangsa yang tumbuh hari ini akan lahir seorang pemimpin dikemudian hari, untuk itu jangan biarkan bangsa dan negara ini hancur, luluh lantak hanya karena generasinya tak pandai, baik dalam menentukan sikap, cara berpikir maupun dalam memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk dilakukan. Dan akupun tak berharap suatu hari nanti aku bercerita pada anak cucuku bahwa disini pernah ada sebuah negara yang bernama “Indonesia”.
Dengan cucuran keringat serta tumpahan darah, para pendiri serta pejuang bangsa telah berhasil mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan, dan kemerdekaan tersebut adalah milik kita, milik rakyat Indonesia dengan kebinekaannya..
            Semoga uraian diatas dapat memberikan inspirasi juga prespektivitas bagi semua pihak yang mempunyai niat tulus serta itikad baik, untuk bersama-sama menyuguhkan hari esok yang lebih baik dari hari sebelumnya, dengan resiko yang relatif kecil terhadap kemungkinan timbulnya korban, sebagai dampak dari proses yang bergulir. Sehingga arah menuju kata akhir senantiasa dapat dimengerti berbagai pihak serta dapat diterima dengan tangan terbuka.

Sukabumi,    Januari 2008


Catatan Kaki :
Labensrum adalah, Lingkup ruang bangsa sesuai dengan jumlah dan kepentingannya
Perspektif adalah, Peninjauan, Tinjauan
Prespektivitas adalah, Daya tinjau terhadap sesuatu fenomena
Kontradiksio interminis adalah,  Majas memperlihatkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang dikatakannya semula, yang kemudian disangkalnya lagi dengan ucapannya kemudian.



                
      
    
            

Fatwa Kerlip Bintang Angkasa



 Fatwa Kerlip Bintang Angkasa

Oleh : Iip Saripudin,SE

Gelegar cemeti bertubi-tubi menempa relung jiwa,
menghantam sisi ruang hati,
mengoyak keheningan dikegelapan malam
saat rembulan tertutup awan hitam.
Dan ketika butir-butir lembut menyapa kesendirian di hening malam,
nyanyian malampun terhenti sejenak
diterpa angin yang berhembus kencang
bersama derasnya titik-titik air yang menghujam penghuni bumi.
Manusia pagi berbondong tradisi,
memikul beban hidup dan kesenangan diri,
mengayunkan langkah-langkah menelusuri jalan setapak,
mencari makna kesejatian demi memperjuangkan keinginan.
Setumpuk asa pun senantiasa menggelayut dipelupuk mata,
dan bersarang didalam kalbu,
meskipun badai kehidupan tiada henti menggoda sisi ruang batin
yang setiap saat menghantam ketegarannya.
Burung-burung kini bernyanyi resah dalam kegundahannya
Sementara jerit kesakitan masih terus membahana,
mencabik-cabik ketidakadilan yang tampak
hingga menembus relung-relung jiwa,
mengusik kedamaian dimanapun ia berada.

Jika saja tak cukup pintar merangkul dayung, maka kapal-kapal yang di kehendaki tak kan melaju sesuai hasrat yang dimiliki. Kecuali selalu menambatkan harapan terhadap kerelaan sang angin untuk meniup layar yang baru saja di rajut, sedangkan tali yang sesungguhnya di butuhkan kini tengah menunggu tegur sapa serta sikap bijak dari siapapun yang mengerti keadaan.     
Kondisi apapun yang terjadi kini, semoga tak akan menyurutkan semangat perjuangan demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
Menyibak tabir perjalanan secara beriringan akan lebih terasa indah, karena tujuan yang sesungguhnya adalah hidup berdampingan saling mengisi ketidakberadaan diantara kita.
Alampun kini berbahasa. Lebih tegas menyikapi tingkah laku manusia dengan berbagai reaksinya. Karena sepertinya ia tak ingin hanya berdiam diri menerima perlakuan yang tidak sepadan dengan apa yang telah manusia dapatkan. Ia pun bertutur kata setelah menyaksikan keanekaragaman bentuk ketidakpedulian serta  keserakahan yang bertebaran, mengakar hingga kepenjuru
desa, karena mungkin Tuhan tak diutamakan lagi dalam kehidupan.
Simbol-simbol perdamaian, kebersamaan serta keadilanpun hanya menyisakan kerapuhan, hingga akhirnya menjadi bahan lelucon yang tak cerdik.
Bangkit dari keterpurukan yang di suarakan menjadi bahan guyonan, karena kelengahan menyikapi persoalan kehidupan yang bergulir disekitarnya.
Rasa lapar serta dahaga senantiasa berhimpitan dengan kondisi ketidakberdayaan menyikapi kompetisi dalam kehidupan, sehingga otak terpengaruh melakukan berbagai tindakan emosional, serta mendorong sikap anarkis dengan alasan klasik demi mempertahankan hidup, karena tak berharap selamanya harus terhempas, tersisihkan serta terbuang dari lingkaran kehidupan.
Berusaha memahami arti keadilan lebih rumit daripada  menyikapi hasil tolak ukur kelayakan menikmati kehidupan yang sepantasnya didapatkan, dan kelayakan hidup pun akhirnya menjadi pertanyaan besar, karena pikiran selalu dibayangi rasa ketidakadilan. Kontribusi yang signifikan terhadap kemiskinan agar kecerdasan bangsa meningkat seiring perkembangan jaman hingga kini masih menjadi impian. Entah kapan terwujud nyata dalam kehidupan. Rasa kekhawatiran yang berlebihan menjadi pengasah pedang, sehingga benih permusuhan dan kecurigaan terhadap sesame semakin tumbuh dan berkembang. Akal sehat terkesampingkan, sementara ketidakpredulian semakin marak dikehidupan, mendorong manusia bersikap individualis.

Dawai-dawai gitar memercikkan kegalauan yang amat dalam,
kegalauan merindukan kedamaian,
yang telah terenggut kembali oleh keangkuhan hidup
dan hampir terkulai dengan mulut menganga.
Mata meredup dengan tatapan hampa menerawang jauh kesana,
menembus batas ruang dan waktu,
mencari-cari makna pertikaian anak manusia
dengan berbagai keyakinan sebagai bahan perrtimbangannya.

Menggeliat anak cucu pertiwi disertai isak tangis, bahkan juga tepuk tangan dengan karangan bunga mengitari pelataran altar yang digunakan sebagai tempat ritual. Entah untuk apa ritual itu dilakukan. Apakah seremonial menyambut lahirnya sosok baru, ataukah ritual pemakaman.
Untuk sejenak bintang - bintang angkasapun tertegun, dan kerlipnya yang bersahaja senantiasa menyapa, seakan ia berfatwa :
Janganlah berberat hati merelakan keinginannya memberikanmu peluang kehidupan, untuk dapat berdiri sendiri serta mandiri menentukan sikapmu yang bergelora. Sementara kalian belum juga mengerti keyakinan atas apa yang dilakukannya    terhadap   kalian.  Dan  percayalah,   bahwasanya sinar terang akan terus mengiringi serta membimbingmu menuju titik harapan yang kalian inginkan.
Cinta tak selamanya mengharuskan dua insan atau pandangan yang berbeda untuk dipersatukan. Karena kasih sayang dan kesungguhan mewujudkan impian bersama dapat tetap diperjuangkan meski dalam bentuk  yang berbeda. 
Prinsip perjuangan telah diteriakkan, ikatan emosional takkan terpisahkan karena keikhlasan telah bersemayam sekian lama dalam nurani untuk saling memberi. Dan martabat bangsa ini menjadi pertaruhan langkah-langkah yang kita pijakkan.
Bangsa yang besar akan terjaga kebesarannya dengan tindakan nyata,  bukan hanya dengan bicara, meski manusia hanya dapat berencana, karena pada hakekatnya Tuhanlah yang menentukan mana yang baik dan mana yang lebih baik melalui tangan-tangan bijaksana.
Kekisruhan yang menyelinap diantara keharmonisan adalah irama yang harus difahami serta disikapi dengan keluwesan berpikir dalam menentukan sikap,  sehingga kerukunan dapat tetap terjalin, mengikat tali persaudaraan antara sesame manusia di belantara dunia.
Kami rindu alunan nada yang memberikan motivasi bagi kemajuan pola pikir meski harus berimprovisasi, namun harmonisasi harus tetap dijaga demi mempertahankan keindahannya, hingga tak terkesan kaku dan monoton. Selama tak menyimpang dari tujuan semula, tak ada salahnya untuk  mencoba jalani dengan segala konsekwensi atas berbagai kemungkinan yang akan terjadi nanti.


Berharap nurani tak terhinggapi kesombongan hidup,
serta kebulatan tekad senantiasa menghiasi relung-relung kalbu para bijaksana, agar apa yang telah  didapatkan selama ini
memberikan arti bagi keberlangsungan hidup untuk melanjutkan perjalanan.

Biarkan burung – burung camar berceloteh tentang kemunafikan,
sementara kenaifan mereka sembunyikan dibalik wajah-wajah yang menyeringai, padahal keyakinannya tengah dilanda keresahan,
berbalut ketidakpastian.

Tatkala Sederet generasi bangsa menyulut kehangatan, laju roda terhambat keragu-raguan berbalut ketidakpercayaan. Namun janganlah di hiraukan karena tekad yang tertanam dalam keyakinan menjadi bekal perjalanan dengan mempertimbangkan etika dalam pencarian kesejatian.  Pengalaman hidup adalah pengetahuan yang dimiliki untuk meluluhkan kerasnya kehidupan.
Jangan biarkan kegelisahan terus bersarang dalam benak hingga menggeser keyakinan. Karena langkah yang terpijakkan kemudian akan terayun ragu. Dan itu tak berharap terus menghantui setiap langkah diri, hingga menghambat lahirnya sosok baru dalam kehidupan yang akan memberikan pencerahan, demi terwujudnya kedamaian dan kesejahteraan yang hakiki.   

Sukabumi, April 2008 
*Di perbaharui pada 10 September 2011*



Jumat, 09 September 2011

Humor Tingkat Tinggi


Menyengsarakan Anggota DPR
 Oleh : KH. Abdurrahman Wahid

SUATU hari di negara antah berantah, muncul suatu kebijakan baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya di negara lain.
Kebijakan itu yakni, setiap orang yang berstatus wakil dinaikkan pangkatnya. Wakil presiden jadi presiden, wakil direktur menjadi direktur, wakil komandan menjadi komandan wakil gubernur menjadi gubernur, wakil RT menjadi ketua RT dan seterusnya. Yang penting dalam program ini tidak ada penggusuran posisi. Perkara ada posisi ganda, itu bisa diatur dalam pembagian tugasnya.
Masalah pembengkakan anggaran, semua ditanggung oleh negara. Sesudah mantap dengan rencana itu, diajukanlah program ini ke DPR untuk mendapatkan persetujuan mereka. Ternyata mereka menolak. Betul-betul menolak keras. Bahkan, ditolak mentah-mentah dengan sangat keras.
Alasannya, program ini menyengsarakan anggota DPR. Bayangkan, mereka akan berubah status dari wakil rakyat menjadi rakyat.


Fenomena Gila

Konon, guyonan mantan Presiden Abdurrahman Wahid selalu ditunggu-tunggu oleh banyak kalangan, termasuk presiden dari berbagai negara.
Pernah suatu ketika, Gus Dur membuat tertawa Raja Saudi yang dikenal sangat serius dan hampir tidak pernah tertawa. Oleh Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus), momentum tersebut dinilai sangat bersejarah bagi rakyat Negeri Kaya Minyak. “Kenapa?” tanya Gus Dur.
“Sebab sampeyan sudah membuat Raja ketawa sampai giginya kelihatan. Baru kali ini rakyat Saudi melihat gigi rajanya,” jelas Gus Mus, yang disambut gelak tawa Gus Dur.
Melekatnya predikat humoris pada Presiden RI yang keempat itu pun sempat membuat Presiden Kuba Fidel Alejandro Castro Ruz penasaran. Suatu ketika, keduanya berkesempatan bertemu.
Seperti yang diceritakan oleh mantan Kepala Protokol Istana Presiden Wahyu Muryadi pada tayangan televisi, Fidel Castro bertanya kepada Gus Dur mengenai joke terbarunya.
Dijawablah oleh Gus Dur, “Di Indonesia itu terkenal dengan fenomena ‘gila’,”.
Fidel Castro pun menyimak pernyataan mengagetkan tersebut.
“Presiden pertama dikenal dengan gila wanita. Presiden kedua dikenal dengan gila harta. Lalu, presiden ketiga dikenal gila teknologi,” tutur Gus Dur yang kemudian terdiam sejenak.
Fidel Castro pun semakin serius mendengarkan lanjutan cerita.
“Kemudian, kalau presiden yang keempat, ya yang milih itu yang gila,” celetuk Gus Dur!.
Fidel Castro pun diceritakan terpingkal-pingkal mendengar guyonan tersebut.



Indonesia Ga Maju-maju?
“saya tahu yang membuat negara kita ini gak maju-maju..
begini… Penduduk kita ini kan totalnya 225juta jiwa.nah, dari jumlah itu saya punya data yang menyebabkan negara ini gak maju-maju..
Dari 225juta penduduk indonesia, ternyata 112jutanya adalah anak-anak dan lansia, sehingga penduduk indonesia usia produktif kerja itu tinggal 113juta.
Dari 113 juta penduduk indonesia usia produktif kerja itu ternyata 12 jutanya adalah PNS pusat yang kerjanya hanya main catur dan ngobrol-ngobrol, sehingga sisanya tinggal 101 juta, dari jumlah itu sejumlah 64jutanya adalah PNS daerah yang kerjanya juga mirip dengan PNS pusat (main catur dan ngobrol-ngobrol).
Sehingga sisanya tinggal 37juta jiwa.
Dari jumlah itu ternyata 32 jutanya adalah mahasiswa dan pelajar yang tidak bekerja karena kuliah dan belajar.
sehingga sisanya tinggal 5 juta.
Dari jumlah itu ternyata sejumlah 3.435.624 jiwa berada di Lembaga pemasyarakatan, sehingga sisanya tinggal 1.564.376jiwa.
Dari jumlah itu ternyata sejumlah 1.564.374jiwa berada dirumah sakit.
Sehingga jumlah penduduk indinesia yang bekerja itu hanya tinggal 2 orang.
2 orang itu adalah anda dan saya.. tapi karena anda hanya ketawa-ketawa saja, jadi penduduk Indonesia yang kerja itu hanya tinggal satu orang saja… yaitu saya…
pantes, negara kita gak maju-maju…”

PUISI

 
PUISI RUMI

Aku melihat Tuhanku dengan mata dari mata hatiku
Aku berkata, “ Tidak ada keraguan, hanya Engkau yang ada, hanya Engkau, hanya Engkau “
Engkaulah satu-satunya yang memasuki setiap rasa dimanapun di dalam diri ini, karena dimanapun rasa yang kucari di dalamnya ada Diri Mu.
Tidak ada cara untuk mengetahui Diri Mu, dimanapun kami mencarinya, sebab di setiap tempat yang kami temui hanya Diri Mu


Tak akan sanggup aku berkhayal tentang Diri Mu, karena kami tidak mengetahui tentang Mu


Tak ada satu pengetahuanpun yang dapat mengetahui tentang Diri Mu kecuali pengetahuan yang datang dari Diri Mu untuk mengetahuinya

Dalam kehilangan diriku aku melihat Diri Mu dan hanya menemukan Mu, dan semakin ku mencari diriku dalam Diri Mu yang kutemukan hanya Diri Mu


 Jiwamu diciptakan di dunia
Hanya untuk menemani jiwaku
Menjelajahi Samudera Kehidupan
Sampai akhir
Yang aku butuhkan bukan jasadmu yang fana
Tapi jiwamu untuk kubawa kembali
Dalam keabadian tanpa batas ruang dan waktu
Kamu juga tahu, karena rasa yang sejati
Tak akan pernah bisa diingkari dari hati yang paling dalam
Karena itu berasal dari Samudera Illahi
dan terbebas dari nafsu hewani dan ego . . .
Itu yang disebut Cinta Sejati
Akan kubangunkan jiwamu yang sudah lama tertidur
Supaya tersadar dalam kesadaran Surgawi
Karena aku adalah engkau dan engkau adalah aku 



Aroma mawar semerbak menebarkan wangi                                                   
Tak satupun makhluk yang tak menyukainya
Tapi tanpa air . . . .
Maka mawar ta' kan berarti                       
Air bagaikan cinta . . . .
Di tunggu setiap makhluk
Tanpa cinta . . . . makhluk takkan berarti
Karena cinta adalah raja
Dan hati adalah singgasananya
Cinta menebarkan wangi
Memikat hati . . . .
Membelenggu jiwa . . . .
Bagaikan oase ditengah sahara . . . .
Setiap makhluk terpikat akannya . . . .

SEMA' (TARIAN BERPUTAR)



Whirling Dervishes
 Sema' (Tarian Berputar)

            Diriwayatkan oleh Sulthan Awliya Quthubul Ghawts Mawlana Syaikh Muhammad Nazim Adil Al Qubrusi An Naqshabandi Al Haqqani yang diwakili oleh Mawlana Shaykh Muhammad Hisham Kabbani An Naqshbandi Al Haqqani Ar Rabbani. Pada suatu hari saat Sayyidina Rasulullah SAW khobah Jum'at, datanglah seorang Baduy Arab seraya bertanya kepada Sayyidina Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah SAW, kapankah kiamat itu datang?”. Sayyidina Rasulullah SAW tidak menjawab, Beliau hanya diam. Baduy Arab itu terus bertanya sampai 3 kali hingga Sayyidina Jibril a.s datang menghadap Sayyidina Rasulullah SAW dan berkata, “Tanyakanlah padanya apakah bekal yang dia bawa untuk menyambut hari kiamat itu?”. Lalu Sayyidina Rasulullah SAW menyampaikannya dan orang Baduy Arab itu menjawab, “Bukankah aku memiliki Cinta kepadaMu Ya Rasulullah SAW.” Dan Sayyidina Rasulullah berkata, “Cukuplah itu membuatmu berdekatan dengan orang yang kau cintai seperti dua jari yang berdekatan.” Dan seketika itu juga orang Baduy Arab itu pergi tanpa mengikuti sholat jum'at.
         Saat mendengar percakapan itu, Sayyidina Abu Bakar Shiddiq RA(1) yang selama ini risau akan pertanyaan yang sama, bertanya kepada Sayyidina Rasulullah SAW, “Ya Sayyidina Rasulullah SAW, apakah cukup hanya dengan Cinta?”. Kemudian Sayyidina Rasulullah SAW menjawab, “Syarat yang utama adalah Cinta!”. Mendengar jawaban itu, hati Sayyidina Abu Bakar Shiddiq ra sangat gembira, begitu bahagia hingga ia mulai berputar dengan jubahnya. Gerakan memutar inilah yang kemudian dikembangkan oleh Mawlana Jalaluddin Rumi menjadi Whirling Dervishes.
Lalu tarian ini kembali muncul beberapa abad setelahnya, yang dilakukan oleh Mawlana Jalaluddin Rumi, seorang sufi yang juga merasakan cinta yang hampir sama kepada gurunya Mawlana Syamsuddin At-tibrizi, atau Syams-i-Tabriz. kemudian tarian ini terus dikembangkan oleh Thariqat Mawlawiyah atau Mevlevi, yang kemudian menjadi seni yang dipetontonkan keseluruh dunia.
Walaupun tarian ini mempunyai makna yang dalam dan esensi spiritual yang tinggi, namun dewasa ini, tarian ini pun sudah kehilangan maknanya, hanya menjadi penghias mata belaka. Tetapi karena sejarah dari tarian ini tidak sembarangan, maka akan selalu indah untuk dilihat. Oleh karena itu kami ingin mencoba menyingkap rahasia dan hakikat yang sebenarnya dari tarian ini.
Islam adalah agama yang penuh dengan kedamaian. Dibuktikan dengan dari sekian banyaknya tradisi dan ajaran-ajaran –yang saat ini sudah mulai dilupakan dan ditinggalkan– salah satunya adalah tarian whirling dervish, tarian yang dilakukan Atas nama Cinta, Dengan Cinta dan Untuk membawa Cinta.
Tarian Whirling Dervish dapat menarik siapa saja baik yang beragama islam atau yang tidak beragama islam. Karena Tarian ini memiliki keindahan putarannya yang dapat menyentuh kalbu lewat sentuhan spiritual yang tersirat di dalamnya. Di zaman sekarang, dimana islam sudah dianggap agama teroris, dan tidak lagi dipercaya sebagai agama pembawa kedamaian yang dibawa oleh Sayyidina Rasulullah Muhammad SAW. Penyelewengan ini memicu kami untuk menyingkap Hakekat dari agama yang penuh dengan Cinta Kasih ini, lewat berbagai jalan yang mampu membawa kedamaian dalam hati setiap manusia. Seperti islam yang tidak menyebar lewat satu jalan, namun banyak jalan, demikian pula dengan seni yang mengatasnamakan Cinta Illahi.
Nama tarian itu adalah Mevlevi Sema Ceremony atau lebih akrab disebut Sema (dalam bahasa Arab berarti “mendengar”, atau jika diterapkan dalam definisi lebih luas adalah bergerak dalam suka cita sambil mendengarkan nada-nada musik sembari berputar-putar sesuai dengan arah putaran alam semesta). Di Barat, tarian ini lebih dikenal sebagai “Whirling Dervishes” atau para Darwis yang berputar, dan digolongkan sebagai divine dance .
Mevlevi Sema Ceremony juga telah dikukuhkan oleh UNESCO sebagai salah satu karya agung dalam tradisi lisan yang tak ternilai harganya. Rumi dan Whirling Dervishes: Adalah satu tarikan nafas , seperti halnya Rumi dan puisi-puisinya. Goethe menyebut Rumi sebagai The greatest mystic poet of the world.
Tentang ketokohan Rumi , rasanya tak perlu dibahas lagi. Jika pengaruhnya masih demikian luas setelah 800 tahun kepergiannya, manusia ini tentu luar biasa. William Dalrymple menulis bahwa pada saat masyarakat AS dicekam horror Bin Laden, ternyata buku puisi terlaris sepanjang 90-an bukanlah karya-karya penulis besar AS semacam Robert Frost, Robert Lowell, tidak juga karya-karya klasik raksasa Eropa seperti Shakespeare, Homer, Dante; tetapi justru karya-karya Maulana Jalaluddin Rumi . Sedangkan Rumi sendiri “hanya” menyebut dirinya sebagai :
I am dust on the path of Muhammad, the chosen one..
Saat ini nama Rumi dikenal cukup baik di Barat. Bahkan beberapa komunitas disana telah membentuk semacam perkumpulan Sema, yang bertemu setiap minggu untuk berdiskusi dan menarikan Whirling Dervishes . Komunitas ini terdapat di beberapa Negara Eropa seperti Swiss, Jerman, Belanda, dan AS.
Apakah mereka muslim? Tentu saja ya, karena sebagian besar penari Whirling beragama islam. Komunitas ini menangkap ajaran Rumi atas nama kemanusiaan yang berketuhanan dan beragamakan cinta. Sufisme yang mereka anut menjadi semacam liberal Sufism, bukan dalam konteks ortodoksi & ortopraksi sufisme Islam. Bagi mereka, Rumi adalah sosok yang telah membuka mata hati mereka, bahwa manusia dengan seluruh peradabannya hanyalah setitik debu di hadapan Tuhan.
Senada dengan itu, kalangan Islam liberal juga kerap “mendewakan” Rumi sebagai sosok pluralis. Mereka mengikuti petuah para pendekar pluralisme, misalnya John Hick--seorang tokoh pluralisme agama--yang kerap mengutip kata-kata Rumi : “ Lampu-lampu itu berbeda, tapi cahayanya sama, datang dari sumber yang sama…”
       Terkadang kata-kata dan argumen Rumi dipakai oleh kalangan Islam liberal untuk menambah hujjah(2) mereka bahwa pluralisme agama adalah sebuah keniscayaan yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Tentu saja hujjah ini dimaksudkan untuk melemahkan posisi argumen dari mereka yang berseberangan dengan para liberalis.
Sebaliknya, bagi mereka yang agak konservatif (selain pengikut salaf), kerap menuding cara pandang liberalis telah membajak karya Rumi untuk kepentingan ideologis mereka. Rumi dengan semua karyanya, hanya bisa dipahami di atas kerangka Al-Qur'an dan Hadist. Rumi yang telah dilucuti ke-Islam-annya adalah tak lebih dari Kahlil Gibran.
Samâ' bukanlah sembarang tarian, melainkan tarian yang memuat konsep spiritual didalamnya. Samâ' bisa dikatakan sebagai sebuah metode intuitif untuk membimbing setiap Individu untuk membuka jalan jiwanya menuju Tuhan. Ketika akal pikiran tak sanggup lagi menjangkau Tuhan, maka metode semacam ini ditempuh. Lewat samâ' , para dervishes atau darwis melakukan perjalanan mistis spiritual(3) menuju kesempurnaan, untuk meleburkan jiwanya dengan Tuhan(4). Dengan membuang segala ego, menghampiri kebenaran hingga tiba di gerbang kesempurnaan.
Setelahnya, mereka kembali lagi sebagai seorang dengan tingkat kesempurnaan yang meningkat, sehingga mampu menebar cinta kepada seluruh makhluk ciptaan Tuhan tanpa membedakan keyakinan atau ras.
Dalam bukunya yang berjudul Sufism: A Short Introduction , William C. Chittick mengatakan bahwa tujuan samâ' adalah memperkuat dzikir(5) kepada Allah seraya mengobarkan api yang membakar habis segala sesuatu kecuali Dia. Bagi penari samâ' , musik adalah bahasa rahasia, tanda-tanda Tuhan yang bersinar dan dapat didengar. Ketika mendengar bahasa rahasia tersebut, jiwa manusia mengingat tempat kediaman asalnya, yakni hari alastu , ketika Tuhan mengadakan perjanjian dengan Adam dan keturunannya, dengan mengatakan, “Alastu bi rabbikum?”. “Bukankah Aku Tuhanmu?”, yang dijawab oleh mereka dengan: “ Ya! kami bersaksi .” (QS. 7:172).
Setidaknya ada tiga unsur penting yang menjadi karakteristik samâ': pikiran, hati (lewat ekspresi perasaan, puisi dan musik), dan tubuh (dengan menggerakan kehidupan lewat putaran).
Terdapat rahasia tersembunyi dalam samâ'. Musik dan tari, masing-masing menyimpan muatan spiritual. Musik yang mengiringi merupakan media untuk membangkitkan gairah kalbu untuk mengingat Tuhan, yang bisa mengantarkan manusia ke dalam keadaan dzauk (keadaan dimana manusia merasakan cinta kepada Allah sedemikian besarnya, sehingga mereka ingin segera bertemu dengan Allah), kepada asal mereka sendiri dalam ‘ketiadaan'.
       Dari sudut pandang sains, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini dibangun dari kumpulan partikel atom. Di dalam atom terdapat elektron yang berputar mengitari intinya. Jika kita kaitkan, sesungguhnya seluruh benda di alam semesta ini dalam keadaan berputar. Hakikatnya manusia berputar karena ada atom di tubuhnya yang berputar menggerakkan sel sehingga darah dapat beredar. Kehidupan manusia pun berputar melewati beberapa fase. Dari tanah berputar melewati berbagai fase hidup, akhirnya kembali lagi menuju tanah. Demikian juga planet-planet berputar mengitari matahari.
Dalam samâ', putaran tubuh mengibaratkan elektron yang bertawaf mengelilingi intinya menuju sang Maha Kuasa. Harmonisasi perputaran di alam semesta, dari sel terkecil hingga ke sistem solar, dimaknai sebagai keberadaan Sang Pencipta. Pikirkan ciptaan-Nya, bersyukur dan berdoalah. “Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi; hanya Allah lah yang mempunyai semua kerajaan dan semua pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu .” QS. 64:1.


Asal Tarian 

1. Kota Turki
       Turki atau Konya adalah kota dimana Mawlana Jalaludin Rumi memulai ajaran ajarannya. Dan disinilah Thariqat Mawlaw iyah berkembang. Jalaludin Rumi mendapatkan nama “Rumi” dari kota ini, yang dulunya bernama “Rum” atau “ Rome ”.
Sampai saat ini pun, tarian whirling masih sangat berkembang di Turki. Dan menjadi salah satu nilai sejarah budaya bangsa mereka.
2. Mawlana Jalaludin Rumi
       Samâ', tarian sakral yang pertama kali diajarkan oleh Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273), sang penyair-sufi agung asal Persia. Samâ’ adalah upacara atau ritual yang diadakan sebagai pengantar para penari kepada sublimasi antara makhluk dengan Penciptanya. Upacara ini berisi adab-adab yang masing-masing mengandung makna.
Tarian mistis yang penuh simbolisme ini pertama kali menginspirasi Rumi setelah kehilangan guru spiritual yang sangat dicintainya, Syamsuddin Tabrizi. Ia adalah seorang darwis misterius yang bagaikan magnet mampu menyedot seluruh perhatian Rumi, hingga orientasi spiritual Rumi berubah secara dramatis, dari seorang teolog dialektis menjadi seorang penyair-sufi. Kemisteriusan Syams membuat putera Rumi menyepadankannya dengan Khidr(6).
Dikisahkan di suatu pagi, seorang pandai besi yang juga darwis bernama Shalahuddin Faridun Zarkub menempa besinya. Pukulan itu kontan membuat Rumi menari hingga mencapai keadaan ekstase. Lalu secara spontan dari mulut Rumi mengalir ujaran-ujaran mistis dalam bentuk puisi.
Selanjutnya, Shalahuddin dijadikan Rumi sebagai khalifah (wakil) untuk menggantikan posisi Syams, tempat ia mencurahkan gagasan dan perasaannya. Setelah melembaga, tarian ini sering dilakukan Rumi selepas shalat Isya di jalanan kota Konya, diikuti para darwis lainnya. Acara terakhir biasanya ditutup dengan pembacaan ayat suci Al-Quran.
        Bagi Rumi menari adalah Cinta. Dan Rumi tak berhenti menari karena ia tak pernah berhenti mencintai Tuhan. Hingga tiba saatnya di suatu senja 17 Desember 1273, ia dipanggil Sang Maha Kuasa dalam keadaan diliputi Cinta Ilahi.
Setelah wafatnya Rumi , tarekat Maulawiyah (beserta ritual samâ'-nya) berlanjut terus di bawah pimpinan Syaikh Husamuddin Hasan bin Muhammad, salah seorang sahabat karibnya, yang juga dijadikan Rumi sebagai khalifah setelah kepergian Shalahuddin. Husamuddin adalah orang yang memberinya dorongan dan inspirasi sehingga lahirlah sebuah karya yang menjadi magnum opus Rumi , yakni Matsnâwî . Kitab ini terdiri dari enam jilid dan berisi 25.000 untaian bait bersajak.
“Jika kau menulis sebuah buku seperti Ilahiname milik Sana'i atau Mantiq at-Thayr milik Fariduddin Attar, niscaya akan menarik minat sekumpulan penyanyi keliling. Mereka akan mengisi hatinya dengan apa yang kau tulis dan musik akan digubah untuk mengiringinya”, demikian saran Husamuddin kepada Rumi di sebuah kebun anggur Meram di luar Konya . Bersama Husamuddin lah Matsnâwî tercipta. Sehingga karya monumental ini dikenal pula dengan sebutan Kitab-i Husam (Bukunya Husam).
Terpesona dengan kandungan dari karya tersebut, seorang orientalis Inggris bernama R.A Nicholson –yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk mengkaji karya Rumi– mengatakan, Matsnâwî adalah sungai besar yang tenang dan dalam, mengalir melalui banyak dataran yang kaya dan beragam menuju samudera tak bertepi. Matsnâwî di mata para pengikut Rumi dianggap sebagai uraian makna batin Al-Quran. Sementara Abdurahman Jami –penyair asal Persia– menyebutnya “Al-Quran dalam bahasa Persia.”
Dan bab ke tiga Matsnâwî berisi tentang kefanaan dalam samâ' . “Tatkala gendang ditabuh, serta merta sebuah rasa ekstase merasuk laksana buih yang meleleh dari debur sang ombak.”, begitu senandung Rumi.
         Setelah Husamuddin wafat, tarekat Maulawiyah berlanjut di bawah kepemimpinan putera tertua Rumi, Sultan Walad. Di tangan puteranyalah tarekat ini terorganisir dengan baik, hingga ajaran ayahnya tersebut menyebar ke seluruh penjuru negeri.
Tarekat Maulawiyah di Barat lebih dikenal dengan sebutan ‘The Whirling Dervishes' (darwis-darwis yang berputar), mengambil nama dari ciri utama tarekat ini. Selain di Eropa, kini tarekat Maulawiyah sudah merambat ke dataran Amerika hingga ke benua Asia.
Sekian abad lamanya pertunjukan samâ' menarik perhatian para pengembara spiritual, hingga lahir catatan-catatan penting tentangnya. Dalam bukunya yang berjudul Islamic Art and Spirituality , Seyyed Hossein Nasr mengatakan bahwa samâ' diawali dengan nostalgia tentang Tuhan, berlanjut dengan keterbukaan sedikit demi sedikit terhadap limpahan karunia dari surga, setelah itu mengalami keadaan ekstase ( fana' ), lebur bersama Al-Haqq(7).
Rumi menyebut samâ' sebagai simbolisme kosmos, sebuah misteri yang sedang menari. Putaran tubuh adalah tiruan alam raya, seperti planet-planet yang berputar. Posisi tangan yang membentang secara simbolik menunjukkan bahwa hidayah Allah diterima oleh telapak tangan kanan yang terbuka ke atas, lalu disebarkan ke seluruh makhluk oleh tangan kiri. Ini merepresentasikan sebuah penyerahan dan penyatuan dengan Tuhan.



Teknik Tarian

Setiap atom menari di darat atau di udara
Sadari baik-baik, seperti kita, ia berputar-putar tanpa henti di sana
Setiap atom, entah itu bahagia atau sedih,
Putaran matahari adalah ekstase yang tak terperikan
        Shalawat disenandungkan, gendang mulai bertabuh, seruling ney mulai ditiup. Sekelompok darwis mengenakan atribut yang seragam. Topi yang memanjang ke atas, jubah hitam besar, baju putih yang melebar di bagian bawahnya seperti rok, serta tanpa alas kaki. Mereka membungkukkan badan tanda hormat lalu mulai melepas jubah hitamnya. Posisi tangan mereka menempel di dada, bersilang mencengkram bahu. Di tengah-tengah mereka tampak seorang Syaikh, yang berperan sebagai pemimpin. Jubah hitam tetap ia kenakan. Ia maju mengambil tempat. Kini giliran syaikh tersebut membungkukkan badannya pada darwis lainnya, mereka pun balas menghormat.
Sekelompok darwis itu kemudian membentuk barisan. Satu per satu maju. Setelah sang pemimpin memberi restu, maka ritual pun dimulai.
Tangan-tangan masih menyilang di bahu. Kaki-kaki yang telanjang mulai merapat. Lalu dimulailah gerakan berputar yang lambat, dengan tumit kaki dijadikan sebagai tumpuan secara bergantian, sementara kaki yang satunya sebagai pemutar. Perlahan-lahan tangan dilepas dari bahu dan mulai terangkat. Gerakan tangan yang anggun itu berangsur membentuk posisi horizontal. Telapak tangan kanan menghadap ke atas, yang kiri ke bawah.
Semakin lama gerakan semakin cepat, selaras dengan ketukan irama yang mengiringinya. Mata-mata itu nampak semakin sayu, sebagian terpejam. Kepala mereka semakin condong ke salah satu pundaknya. Semakin cepat putaran, rok-rok putih yang mereka kenakan semakin mengembang sempurna laksana payung yang terbuka. Orang-orang itu semakin larut. Suasana magis seolah tercipta.
Gendang belum berhenti bertabuh, ney(8) masih mengalun syahdu. Tanpa isyarat dari sang pemimpin ritual untuk berhenti, mereka akan terus melambung dalam keadaan ekstase.
Posisi tangan yang membentang secara simbolik menunjukkan bahwa hidayah Allah diterima oleh telapak tangan kanan yang terbuka ke atas, lalu disebarkan ke seluruh makhluk oleh tangan kiri. Ini merepresentasikan sebuah penyerahan dan penyatuan dengan Tuhan.
Atribut yang dikenakan juga merupakan metafora yang menyimpan makna. Topi Maulawi –yang biasanya berwarna merah atau abu-abu– melambangkan batu nisan ego, jubah hitam sebagai simbol alam kubur yang ketika dilepaskan melambangkan kelahiran kembali menuju kebenaran, baju putih adalah kain kafan yang membungkus ego, dan ney melambangkan jiwa yang dinafikan dari diri, digantikan dengan Jiwa Ilahi. Seruling buluh ini juga melambangkan terompet yang ditiupkan malaikat di hari kebangkitan untuk menghidupkan kembali orang yang mati. Karpet merah yang biasa diduduki oleh sang syaikh melambangkan keindahan matahari dan langit senja, yang waktu itu menghiasi kepergian Rumi untuk selamanya.
Samâ' bukanlah sembarang tarian, melainkan tarian yang memuat konsep spiritual didalamnya. Samâ' bisa dikatakan sebagai sebuah metode intuitif untuk membimbing setiap Individu untuk membuka jalan jiwanya menuju Tuhan. Ketika akal pikiran tak sanggup lagi menjangkau Tuhan, maka metode semacam ini ditempuh.
       Dalam samâ', putaran tubuh mengibaratkan elektron yang bertawaf mengelilingi intinya menuju sang Maha Kuasa. Harmonisasi perputaran di alam semesta, dari sel terkecil hingga ke sistem solar, dimaknai sebagai keberadaan Sang Pencipta. Pikirkan ciptaan-Nya, bersyukur dan berdoalah. “Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi; hanya Allah lah yang mempunyai semua kerajaan dan semua pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu .” QS. 64:1.
Akhirnya kita saksikan sang pemimpin mulai berdiri. Tabuhan gendang terdengar dipercepat, seiring itu putaran tubuh pun semakin kencang. Kemudian syaikh itu memberikan isyarat untuk berhenti. Seketika itu musik dan para penari pun berhenti. Dan pertunjukan pun berakhir. Tanpa tepuk tangan, karena samâ' bukanlah sebuah pagelaran seni.
Dengan berputarnya tubuh yang berlawanan dengan arah jarum jam, para penari merangkul kemanusiaan dengan cinta. Manusia diciptakan dengan Cinta untuk mencinta. “Semua cinta adalah jembatan menuju Cinta. Siapa saja yang tak merasakannya tak akan tahu,” demikian kata Rumi .
Makam Rumi di Konya dikelola oleh pemerintah Turki sebagai obyek wisata. Setiap tahunnya, terutama antara tanggal 2-17 Desember, ribuan peziarah dari delapan penjuru mata angin berkunjung, menyaksikan para pengikut Maulawi berputar untuk memperingati “malam penyatuan”, malam di mana sang guru tercinta wafat.
        Mausoleum Konya menyimpan kenangan. Saksi bisu sejarah tatkala ujaran sang penyair agung mengisi lembar peradaban luhur Islam melalui karya estetisnya, menjadi sumber inspirasi yang membakar jiwa para pecinta di segenap penjuru dunia.



Seperti gelombang di atas putaran kepalaku,
maka dalam tarian suci Kau dan aku pun berputar
Menarilah, Oh Pujaan Hati,
jadilah lingkaran putaran
Terbakarlah dalam nyala api-bukan dalam nyala lilin-Nya

Rumi

       Dengan berputarnya tubuh yang berlawanan dengan arah jarum jam, para penari merangkul kemanusiaan dengan cinta.
Bahwa Tuhan menciptakan dan memberikan Cinta itu menjadi sebuah inti dari semua cinta, yang dapat menghilangkan semua batasan (batasan baik itu agama, budaya, ataupun ras). Di antara semua makhlukNya. Sehingga mereka dapat mencintai semua mahkluk manusia, dan mencintai mahkluk yang lain. Dan itu dapat menjadi sebuah obat untuk menyembuhkan penyakit individualis dan egoism dalam diri manusia.
Dan Rumi telah menterjemahkan itu semua dalam kesempurnaan bentuk, baik secara ucapan dalam bentuk puisi dan tarian Sema dalam putaran jasad. Untuk dirinya merasakan cinta itu, dan membagikan cinta itu kepada makhluknya.
        Perlu disampaikan, bahwa penjelasan ini tidak bermaksud mengajak pembaca untuk menari di hadapan Tuhan, apalagi menganggapnya sebagai ritual yang sejajar dengan shalat, puasa, haji, dan sebagainya. Cerita Cinta ini sekadar untuk memperkenalkan khazanah keislaman yang dibawa oleh seorang Mawlana Jalaluddin Rumi, yang masyhur bukan saja di Timur, tapi juga di Barat.
Terlepas dari keberatan sebagian ulama fikih yang memandang musik dan tarian sebagai sesuatu yang diharamkan secara syariat, jalan spiritual melalui tasawuf –yang notabene sering menggunakan musik dan tarian sebagai media– telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi peradaban Islam. Terlebih, dalam prakteknya tasawuf mampu memainkan peranan sebagai obat bagi penyakit spiritual yang dilanda manusia modern yang semakin teralienasi dari poros eksistensi.